Tentang RUH
Dalam surah al-Isra’ ayat 85 Allah Swt., berfirman:
ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم الا قليلا
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”
MUQADDIMAH
Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).1
MAKNA RUH
Sebelum membahas lebih jauh penulis ingin mengulas sedikit tentang arti ruh itu sendiri, penulis akan datangkan beberapa pendapat tentang ruh dari berbagai sudut pandang, baik menurut bahasa, menurut al-Qur’an, Filsafat dan lain-lain.
1. Bahasa
Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.
- Kata روح (ruh) untuk ruh
- Kata ريح (rih) yang berarti angin
- Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.
Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat. Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat روحانيون * روحاني digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya untuk satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh disebut sebagai sesuatu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup.
الروح انه ما به حياة النفس
atau seperti yang dikatakan al-Farra'
الروح هو الذي يعيش به الإنسان
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Dalam al-Qâmûs al-Muhîth dan Mukhtâr al-Shahhâh kata “Rûh” berarti “sesuatu yang dengannya ada kehidupan”. Lalu kata “Rûhânî” berarti “sesuatu yang terdapat didalamnya ruh”.
Dan menurut kamus-kamus bahasa Arab kata “Rûh” sama dengan kata “an-Nafs”.[2]
2. Di dalam al-Qur’an
Menurut DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, lafadz “Rûh” dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih disebutkan sekitar dua puluh satu kali dalam berbagai makna.[3] Seperti:
1. Dalam surah al-Qadr ayat 4, dimaksudkan dengan Rûh yaitu “Malaikat Jibril AS”.
[4] ...... تنزل الملا ئكة والروح فيها
2. Dalam surah as-Syûrâ terdapat kata Rûh yang bermakna “al-Qur’an”.
[5] ...... وكذلك أوحينا اليك روحا من أمرنا
3. Dalam surah Ghâfir terdapat kata Rûh yang memiliki makna “al-Wahyu”
[6] ..... يلقى الروح من أمره على من يشاء
3. Menurut Ahli Kalam
Menurut Imam Nawawi tentang makna Ruh: yang lebih pantas adalah ta’rif Imam al-Haramain yaitu “Ruh adalah Jisim yang lembut, jernih, yang mengalir dalam jisim seperti aliran air dalam tumbuh-tumbuhan, maka dari itu ruh mengalir di seluruh badan”.
Salah seorang ahli Mazhab Malik menjelaskan tentang ruh dengan makna “adalah Jisim yang memiliki bentuk seperti bentuk jasad pada sakalnya dan gerakannya”.
Dinuqil dari ibnu al-Qasim dari abdul ar-Rahim bin Khalid ia berkata: “Ruh itu memiliki jisim, dua tangan, dua kaki, dua mata dan kepala yang mengapung / mengalir dari jasad”.
4. Menurut Filsuf
Imam Ghazali dalam menjelaskan masalah Ruh adalah bahwa lafaz an-Nafs, ar-Rûh, al-Qalb, al-‘Aql diartikan pada Esensi yang bersandar pada manusia yang dari esensi itu adalah hakikatnya.
Ibnu Hazam dalam kitabnya menjelaskan bahwa an-Nafs dan ar-Rûh adalah dua sinonim untuk satu yang dinamai dan makna keduanya adalah satu.
Menurut Alkindi bahwa Ruh adalah suatu wujud sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta persis sebagaimana sinar terpancar dari matahari.
Hukum Membicarakan Ruh
Pendapat Imam Abdul Salam al-Laqâni dan Mayoritas Muhaqqiqin. Mayoritas Muhaqqiqin tidak terlalu dalam membahas tentang hakikat ruh dengan jenis dan pasal yang berbeda, itu semua disebabkan karna tidak adanya pengetahuan yang mereka dengar tentang ruh dan juga tidak didapati nash Syari’ (Allah) yang menjelaskan hal itu. Maka menerut mereka alangkah lebih baiknya kalau kita tidak terlalu jauh dalam membahas ruh, serta hukumnya makruh.
Imam al-Junaidi seorang sufi berpendapat bahwa ruh itu adalah rahasia Allah Swt., dan menurutnya seoarang hamba tidak boleh membahas ruh terlalu jauh. Dan perkataannya menunjukan pengharaman.
Menurut Syaikh as-Sahr Wardi bahwa pembahasan tentang ruh sangatlah sulit, kita —manusia— hanya diberi sedikit pengetahuan tentang itu. Maka apakah pantas kita terlalu jauh dalam membahasnya?
Dari tiga pendapat diatas kita bisa simpulkan bahwa Dari sudut pemikiran Islam menolak tentang pembahasan ruh dengan alasan tidak ada adab kepada as-Syari’. Dan haram hukumnya karna ruh adalah termasuk rahasia dan urusan Tuhan.
Namun ada pendapat lain yang perlu kita perhatikan, selain bahwa para filsuf Islam sudah pasti membolehkan dalam hal membahas ruh, mulai dari Alkindi filosof Arab pertama dalam risalah pendeknya “Tentang Ruh”, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Miskawaih, Ibnu Rusd dan lain-lain dari ulama salaf dan khalaf.
Di dalam bukunya, DR. Mohammad Sayed Ahmad al-Musayyar —bersama mayoritas ulama— berpendapat bahwa di dalam firman-Nya surah al-Isra’ ayat 85 tidak ada indikasi pengharaman tentang membahas ruh ataupun indikasi pemakruhannya. Menurutnya para ulama yang melarang membahas ruh didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah pemahaman tentang makna ruh yang diartikan sebagai “Rahasia Allah”, bahwa ruh termasuk alam mujarrad yang tidak bisa didapati dan adanya hadits yang menerangkan tentang Asbab an-Nuzul ayat tersebut.
Dalil-dalil Ulama yang membolehkan membahas ruh
Para ahli tafsir tidak sepakat bahwa ruh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah arwah bani adam, Imam al-Alusi berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hakikat ruh manusia,[15] selain itu juga dalam beberapa riwayat sahih Bukhari dan Muslim adanya pertanyaan tentang ruh, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ruh yang dimaksud adalah Jibril AS. Serta riwayat dari Ali Bin Abi Thalib bahwa yang dimaksud ruh adalah malaikat yang meiliki 70 ribu wajah.
Ibnu Qayyim berkata dalam salah satu kitabnya: bahwa mayoritas ulama salaf bahkan semuanya berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan ruh dalam ayat tersebut adalah bukan arwah Bani Adam, melainkan ruh yang Allah beritakan pada kitabnya “bahwasanya ia akan ada bersama para malaikat di hari kiamat, ruh itu adalah malaikat yang mulya”.
Imam Ibnu Hajar berkata bahwa “pendapat Imam Junaidi dan para pengikutnya telah menyalahi pendapat mayoritas Sufi Muta’akhir karna mereka banyak membahas tentang ruh, bahkan sebagian dari para sufi menjelaskan hakikat ruh serta menklaim aib bagi orang yang melarang membahas ruh.
Para Nabi dan Ulama banyak berbicara tentang Allah Swt, mulai dari sifat-sifat-Nya, Asma al-Husna-Nya, lalu membahas tentang wujud, wahdaniat, kalam al-Ilahi dan sebagainya, dan kita tidak mendengar seorang pun yang mengharamkan untuk membahasnya ataupun memakruhkannya, padahal sudah jelas bahwa al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah itu Esa, Yang Satu. Lalu apakah ruh derajatnya lebih tinggi dari pada semua hal yang berhubungan dengan-Nya? Na’udzu billah.
Ruh atau An-Nafs, Jiwa, Menurut Para Filsuf Muslim
A. Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)
Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu
Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.
Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.
B. Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:
Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.
C. Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)
Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.
Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".
D. Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.
Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:
- Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
- Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
- Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
- Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
- Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.
E. Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs amarah.
Mereka berargumen dengan firman Allah:
Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ... (QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah (QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah) (QS. Yusuf: 53)
Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.
5. Ruh dan Badan
Setelah membahas tentang hukum membahas ruh, penulis rasa ada baiknya jika kita membahas “kaitan Ruh dengan Badan”. Kita pun telah mengetahui apa itu ruh dari paparan diatas. Bisa dikonklusikan bahwa ruh berkaitan sekali dengan jasad karna adanya kehidupan karna adanya ruh.
Ibnu Qayyim dalam salah satu kitabnya menyebutkan lima kaitan/fase ruh dengan badan diantaranya adalah: Pertama; kaitan ruh dengan badan pada perut ibu yaitu janin, kedua; kaitanya dengan badan setelah keluar/ada di bumi, ketiga; kaitan ruh dengannya ketika tidur, adakalanya bersatu adakalanya juga keduanya berpisah, keempat; kaitan keduanya di alam Barjakh, terakhir; kaitannya pada hari pembangkitan jasad.[20]
Pada fase pertama kaitan ruh dan badan didalam rahim ibu hampir mayoritas orang telah mengetahuinya, jadi —hemat penulis— tidak perlu dijelaskan lebih jauh, akan tetapi penulis akan sedikit berbicara tentang ruh sebelum itu/penciptaan ruh. Beberapa nash al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan ruh diantaranya:
[الله خالق كل شيئ [21
[قوله تعالى لزكريا وقد خلقتك من قبل ولم تك شيئا [22
Pada dua ayat diatas kita bisa simpulkan bahwa Allah telah menciptakan ruh. Dan dari berbagai pembahasan tentang penciptaan ruh kita dapati bahwa ada beberapa perbedaan pendapat tentang apakah ruh Qadimah atau Makhluqah Muhdatsah?. Para rasul sepakat bahwa ruh itu Makhluqah Muhdatsah bahkan dibuat serta diatur oleh-Nya.
6. Ruh Setelah Mati
Di antara informasi yang telah sampai kepada kita dari baginda Rasulullah SAW berkaitan dengan ruh ini, di antaranya adalah:
1. Ruh orang beriman seperti burung terbang berwarna kehijauan, tinggal di dalam sesuatu yang mirip kubah cahaya yang terbuat dari bahan seperti emas di bawah ‘Arasyi. Nabi SAW bersabda tentang para syuhada yang gugur dalam perang Uhud:
جعل الله أرواحهم فى أجوافِ طيرٍ خضرٍ تَرِدُ أنهارَ الجنةِ وتأكل ثمارَها وَتَأْوِيْ إلى قناديل من ذهب في ظلال العرش
“Allah menjadikan ruh mereka dalam bentuk seperti burung berwarna kehijauan. Mereka mendatangi sungai-sungai surga, makan dari buah-buahannya, dan tinggal di dalam kindil (lampu) dari emas di bawah naungan ‘Arasyi.” [Hadis Shahih riwayat Ahmad, Abu Daud dan Hakim]
2. Orang yang telah meninggal dunia mengetahui orang yang menziarahi kuburnya. Nabi SAW bersabda:
ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” [Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid].
3. Orang yang telah meninggal dunia saling kunjung-mengunjungi antara yang satu dengan yang lainnya. Nabi Saw bersabda:
سألت أم هانئ رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: أنتزاور إذا متنا ويرى بعضنا بعض يا رسول الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يكون النَسَمُ طيرا تعلق بالشجر حتي إذا كان يوم القيامة دخلت كل نفس فى جسدها.
“Ummu Hani bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah kita akan saling mengunjungi jika kita telah mati, dan saling melihat satu dengan yang lainnya wahai Rarulullah SAW? Rasulullah SAW menjawab, “Ruh akan menjadi seperti burung yang terbang, bergelantungan di sebuah pohon, sampai jika datang hari kiamat, setiap roh akan masuk ke dalam jasadnya masing-masing.” [HR. Ahmad dan Thabrani dengan sanad baik].
4. Orang yang telah meninggal dunia merasa senang kepada orang yang menziarahinya, dan merasa sedih kepada orang yang tidak menziarahinya. Nabi SAW bersabda:
ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” [HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr].
5. Orang yang telah meninggal dunia mengetahui keadaan dan perbuatan orang yang masih hidup, bahkan mereka merasakan sedih atas perbuatan dosa orang yang masih hidup dari kalangan keluarganya dan merasa gembira atas amal shaleh mereka. Nabi SAW bersabda:
1. إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” [HR. Ahmad dalam musnadnya].
2. تعرض الأعمال يوم الإثنين ويوم الخميس على الله، وتعرض على الأنبياء وعلى الآباء والأمهات يوم الجمعة فيفرحون بحسناتهم وتزداد وجوههم بياضا وإشراقا فاتقوا الله ولا تؤذوا أمواتكم
“Seluruh amal perbuatan dilaporkan kepada Allah SWT pada hari Senin dan Kamis, dan diperlihatkan kepada para orangtua pada hari Jum’at. Mereka merasa gembira dengan perbuatan baik orang-orang yang masih hidup, wajah mereka menjadi tambah bersinar terang. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan janganlah kalian menyakiti orang-orang kalian yang telah meninggal dunia.” [HR. Tirmidzi dalam kitab Nawâdirul Ushûl].
6. Orang-orang beriman hidup di dalam surga bersama anak-cucu dan keturuanan mereka yang shaleh.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang beriman yang anak-cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka. Kami tidak mengurangi dari pahala amal mereka sedikitpun. Setiap orang terkait denga apa yang telah dia kerjakan.” (QS. At-Thur: 21)
7. Orang mukmin dapat melihat Allah SWT bagaikan melihat bulan purnama.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ فِي الظَّهِيرَةِ لَيْسَتْ فِي سَحَابَةٍ قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ فِي سَحَابَةٍ قَالُوا لَا قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ رَبِّكُمْ إِلَّا كَمَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ أَحَدِهِمَا رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah Ra. Berkata, “Para sahabat bertanya, “Wahai rasulullah, apakah kita akan dapat melihat tuhan kita pada hari kiamat? Rasulullah SAW menjawab, “Apakah kalian ada kendala melihat matahari di sianghari yang tidak berawan? Tidak, jawab para sahabat. Rasulullah kembali berkata, “Apakah kalian ada kendala melihat bulan di malam purnama yang tidak berawan? Tidak, jawab para sahabat. Raulullah SAW melanjutkan, “Demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak ada kendala melihat tuhan kalian kecuali seperti kalian melihat matahari atau bulan itu.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Ketika kita membahas ruh setelah mati maka kita terpaku pada satu alam setelah alam hidup yaitu alam Barjakh sebagai tempat pertama pembalasan. Ada banyak hal yang akan kita temui seputar alam Barjakh, mulai dari apa itu alam Barjakh, bagaimana keadaan ruh di alam Barjakh, dimana ruh antara sesudah mati dan sebelum hari kiamat.
Ibnu Qayyim dalam bukunya dan beberapa ulama lain menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu.
Pertama; tentang alam Barjakh. Didalam buku Ar-Rûh fî Dirâsât al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah dijelaskan bahwa al-Barjakh adalah fase alam setelah kehidupan ini, dan ia yang memisahkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dan disinilah ruh akan diminta pertanggung jawabannya.
Kedua; tentang ruh dialam Barzakh. Ibnu Hazam berpendapat bahwa ruh akan menerima azab qubur dan masalah-masalahnya di alam Barzakh. Senada dengan Ibnu Hazam, DR. Mohammad Sayed Ahmad al-Musayyar yang sepakat dengan pendapat Ibnu Hazam berpendapat bahwa alam Barjakh adalah tempat ditanyanya ruh dan tempat balasan dan itu hanya ruh saja.
Ketiga; dimana ruh setelah mati dan sebelum hari kiamat? Didalam kitab ar-Ruh dijelaskan bahwa keadaan ruh atau di mana ruh berada, ada banyak pendapat seputar itu, mulai dari pendapat yang mengatakan bahwa ruh ada di surga dan sebagainya. Penulis akan rincikan beberapa pendapat tersebut sebagai berikut:
Pendapat Abu Hurairah dan Abdullah Ibnu Umar; Arwah orang-orang mukmin disisi Allah baik para syuhada atau bukan syuhada.
Imam Ahmad pada riwayat anaknya Abdullah; Arwah orang kafir di Neraka, sedangkan orang mukmin di Surga.
Diriwayatkan dari sekumpulan sahabat dan tabi’in bahwa arwah orang mukmin berada di telaga/kolam, sedangkan arwah orang kafir di salah satu sumur bernama Barhut yang berada di Hadhra Al-Maut.
Pendapat yang lebih rajih —menurut Ibnu Qayyim— adalah: arwah bertempat sesuai derajatnya, adakalnya di alam Barzakh, ada yang di A’la ‘Illiyyin yaitu arwah para nabi, ada yang berada di sekitar surga pergi kemana ia suka yaitu ruh sebagian syuhada, ada arwah yang ditahan di pintu surga, ada arwah yang ditahan di kuburnya, ada juga arwah yang ditahan dibumi dan sebagainya.
Kesimpulan
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.
Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran, macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia terkesan berbeda. Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena semua pembahasan diatas saling berkaitan satu sama lain yang terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.
Dari penjelasan beberapa dalil yang telah kita sebutkan tadi, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil, di antaranya adalah pendapat Ibnul Qayyim Aj-Jauziyyah yang mengatakan:
Hadits tentang mayit mengetahui dan menjawab salam orang yang menziarahinya tidak berarti bahwa ruh ada di dalam liang kubur di dalam tanah. Bukan seperti itu, melainkan bahwa ruh punya keterkaitan khusus dengan jasadnya. Di mana jika ada yang mengucapkan salam untuknya, dia akan menjawabnya. Ruh berada di suatu alam yang bernama alam Barzakh di suatu tempat yang bernama Ar-Rafîqul `A’lâ. Alam ini tidak sama dengan dunia kita, bahkan jauh berbeda. Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui lika-liku dan detail-detailnya.
Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh.
Wallah A’lam Bisshawab
Jakarta Jum’at:8/2/2013 - Keluarga Umar
0 Komentar