Baru

ads header

Al-Quran, Tentang Ruh


Asbabun Nuzul


“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (QS. Al-Israa’: 85)

Imam Ahmad meriwayatkan dari `Abdullah bin Mas’ud, ia bercerita, aku pernah berjalan bersama Rasulullah di sebuah kebun di Madinah, ketika itu beliau dalam keadaan bertongkat dengan pelepah kurma. Kemudian beliau berjalan melewati sekelompok orang dari kaum Yahudi, lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: “Tanyakan kepadanya tentang ruh.” Sebagian mereka berkata: “Jangan kalian bertanya kepadanya.”

Maka mereka pun -lanjut Ibnu Mas’ud- bertanya kepada Rasulullah tentang ruh, di mana mereka bertanya: “Ya Muhammad, apakah ruh itu?” Dan beliau masih tetap bersandar pada pelepah kurma. Aku menduga Allah menurunkan wahyu kepada beliau, di mana Dia berfirman: wa yas-aluunaka ‘anir ruuhi qulir ruuhu min amri rabbii wamaa uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilan (“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”)

Lebih lanjut Ibnu Masud bercerita, kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya: “Sudah kami katakan kepada kalian, janganlah kalian bertanya kepadanya.”

Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Siyaq (redaksi) ayat ini secara lahiriyah menunjukkan bahwa ayat ini turun di Madinah dan turun ketika Rasulullah ditanya oleh orang-orang Yahudi tentang ruh di Madinah, padahal surat ini secara keseluruhan adalah Makkiyyah.

Mengenai hal tersebut, pernah ada yang menjawab bahwa mungkin saja ayat tersebut turun di Madinah an-Nabawiyyah untuk yang kedua kalinya sama seperti ketika diturunkan di Makkah sebelumnya. Dan mungkin juga wahyu itu telah turun kepada beliau, lalu beliau menjawab pertanyaan yang mereka ajukan itu dengan menggunakan ayat tersebut yang telah diturunkan sebelum pertanyaan itu diajukan, yaitu firman-Nya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.”

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna ruh dalam ayat ini, mengenai hal itu terdapat beberapa pendapat. Maksud pertama, yang dimaksud adalah arwah anak cucu Adam.

Mengenai firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh,” al-`Aufi menceritakan dari Ibnu `Abbas, yang demikian itu, orang-orang Yahudi pernah berkata kepada Nabi saw: “Beritahukan kepada kami tentang ruh dan bagaimana ruh yang terdapat di dalam jasad itu di adzab. Sedangkan ruh itu dari Allah, dan tidak pernah turun sedikit pun kepadanya, berada di dalamnya, maka tidak ditarik sedikit pun dari mereka!?. Lalu Jibril datang kepada beliau seraya berujar: “Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’”

Maka Rasulullah saw. pun memberitahu mereka tentang hal itu. Lalu mereka bertanya: “Siapa yang mengajarimu seperti ini?” Beliau menjawab: “Jibril yang telah membawakan wahyu ini kepadaku dari sisi Allah.” Mereka berkata kepada beliau: “Demi Allah, tidak ada yang memberitahukan kepadamu melainkan musuh kami.”

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Katakanlah: `Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 97)

Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan ruh di sini adalah Jibril. Dan ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud ruh adalah Malaikat yang agung, yang besar dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya.

Firman Nya: qulir ruuhu min amri rabbii (“Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku.’”) Maksudnya, dari keadaan-Nya dan ilmu tentangnya hanya dikhususkan pada-Nya dan tidak diberikan pada kalian. Oleh karena itu, Dia berfirman: wa maa uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilan (“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”)

Maksudnya, Allah Ta’ala tidak memberi ilmu tentang ruh itu kepada kalian melainkan hanya sedikit saja. Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat menyelami ilmunya kecuali yang dikehendaki-Nya saja. Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan ilmu Allah Ta’ala, ilmu kalian teramat sangat sedikit. Masalah ruh yang kalian tanyakan ini ilmunya hanya dimiliki oleh-Nya semata dan tidak diberikan kepada kalian, sebagaimana Dia tidak memberikan ilmu-Nya kepada kalian melainkan hanya sedikit saja. Wallahu a’lam.

Kemudian as-Suhaili menyebutkan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama, yakni, apakah ruh itu jiwa atau ada pengertian lainnya.

Ada yang menetapkan bahwa ruh adalah suatu dzat yang sangat lembut seperti udara yang beredar di dalam jasad, seperti beredarnya air di dalam akar pohon. Ditetapkan pula bahwa ruh yang ditiupkan Malaikat ke dalam janin adalah jiwa dengan syarat berhubungan dengan badan, karena adanya hubungan dengan badan dan geraknya jiwa itu dengan sebab adanya ruh dengan sifat-sifat yang baik atau buruk. Jiwa itu bisa jiwa muthmainnah (tenang) atau jiwa yang menyuruh kepada keburukan.

Lebih lanjut ia mengatakan, sebagaimana air merupakan kehidupan bagi pohon, yang melalui perpaduannya muncul nama baru. Jika ia bercampur dengan anggur dan diperas, maka akan menjadi minuman perasan anggur atau minuman khamr. Dan pada saat itu tidak lagi disebut sebagai air kecuali disebut kata kiasan. Demikian juga dengan ruh, jiwa itu tidak disebut ruh melainkan disebut dalam kata kiasan. Dan ruh pun tidak dapat disebut jiwa kecuali melalui pengungkapan seperti itu. Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa ruh itu merupakan pokok dan materi jiwa dan jiwa itu sendiri terdiri dari ruh. Dilihat dari hubungannya dengan badan, maka ia adalah jiwa, tetapi itu tidak dari semua sisi. Pengertian tersebut adalah baik. 

Wallahu a’lam.

RINGKASAN
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (al-Israa’: 85)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Mas’ud bahwa pada suatu hari Nabi saw. berjalan dengan tongkat di Madinah disertai oleh Ibnu Mas’ud, dan lewat di depan segolongan Yahudi. Salah seorang mereka berkata: “Mari kita bertanya kepadanya.” Merekapun berkata: “Coba terangkan kepada kami tentang ruh.” Nabi berdiri sesaat seraya mengangkat kepala ke langit. Terlihat beliau sedang diberi wahyu. Kemudian bersabda bahwa … ar-ruuhu min amri rabbii, wamaa uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilaa ... (ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit) (al-Israa’: 85). Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa tersebut.

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa kaum Quraisy berkata kepada kaum Yahudi: “Ajarilah kami sesuatu untuk ditanyakan kepada orang ini (Muhammad).” Berkatalah orang Yahudi: “Cobalah tanyakan kepadanya tentang ruh.” Merekapun menanyakannya kepada Nabi saw. Turunnya ayat ini (al-Israa’: 85) berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai tuntunan kepada Rasulullah saw. dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Keterangan: Terkait hal ini Ibnu Katsir mengemukakan sebagai berikut: dua dari kejadian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini (al-Israa’: 85) turun berkenaan dengan kedua peristiwa tersebut. Demikian pula menurut pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar, dengan tambahan bahwa diamnya Nabi saw ketika ditanya oleh Yahudi, boleh jadi menunggu penjelasan lebih jauh tentang masalah itu. Sekiranya bukan karena menunggu penjelasan lebih jauh, tentu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari itu lebih shahih.

Menurut Imam as-Suyuthi, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari itu lebih shahih, karena sumber rawinya hadir pada waktu terjadinya peristiwa itu, sedang Ibnu ‘Abbas tidak hadir dalam peristiwa itu.

Catatan: Ayat ini menjelaskan bahwa sejak dahulu hingga selamanya, pengetahuan umat Yahudi tentang ruh memang sangat sedikit!

-------------------------------------
Perlu penulis tambahkan:
“Orang-orang telah berbicara tentang esensi dan hukum ruh, bahkan mereka telah menyusun berbagai macam kitab yang membahas tentang hal itu. Dan di antara orang yang bagus pembahasannya dalam masalah ini adalah al-Hafizh Ibnu Mandah dalam sebuah kitab yang pernah kami dengar.”

[Sumber: Al-Quran Mulia]

Posting Komentar

0 Komentar