ANALOGI MONYET UNTUK MENEJELASKAN KONSEP KETUHANAN TRINITAS
Bagaikan menegakkan benang basah. Pepatah ini layak disandang oleh para teolog yang membela doktrin Trinitas. Sejak awal mulanya, doktrin ini selalu menjadi batu sandungan bagi orang yang memfungsikan akalnya dalam beragama. Doktrin kristiani ini menyatakan bahwa Tuhan terd iri dari tiga oknum (pribadi) yang sezat, sehakikat dan senilai yaitu: Allah Bapak, Allah Anak (Yesus Kristus) dan Allah Roh Kudus. Pengertian ini antara lain dirumuskan oleh Dr R Soedarmo dalam Kamus Istilah Theologia: “Allah menyatakan diri-Nya sebagai Tri-Tunggal, yaitu Allah Bapak, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Pengertiannya: Tiga sama dengan Satu; dan Satu sama dengan Tiga; Sezat dan senilai”.
Soedarmo mempertegas rumusanya dalam buku Intisari Iman Kristen: “Allah yang satu dan esa itu memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah di atas kita (Allah Bapak), sebagai Allah di tengah-tengah kita (yakni Yesus Kristus) dan sebagai Allah di dalam kita (yakni Roh Kudus). Ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, namun dibeda-bedakan juga. Itulah yang dimaksud dengan istilah Tritunggal” (hal. 89).
Lucunya, setelah mengulas doktrin Trinitas secara panjang-lebar, Soedarmo berterus terang dalam bukunya Ikhtisar Dogmatika: “Kita tentu insaf bahwa Trinitas memang tidak dapat dimengerti” (hal 114).
Sementara dari pihak Katolik, Adolf Heuken Sj dalam Ensiklopedi Gereja menyebut Trinitas yang diimaninya sebagai misteri terbesar di dunia: “Pengakuan Allah Tritunggal merupakan kekhasan iman Kristiani. Pengakuan inilah dasar dan puncak misteri. Misteri Allah Tritunggal tidak dapat disimpulkan dari apapun dalam dunia. Misteri Tritunggal adalah misteri iman yang mutlak” (hal. 21).
Sebagai sebuah misteri iman, maka wajar jika Alban Douglas berkomentar pedas tentang Trinitas: “Barangsiapa mencoba untuk mengerti Tritunggal secara tuntas dengan daya akal manusiawi, akan menjadi tidak waras. Tetapi barangsiapa menyangkal Tritunggal, akan kehilangan jiwanya” (Inti Ajaran Alkitab, hal. 19-20).
Faktor utama kerapuhan doktrin Trinitas adalah tidak adanya dukungan ayat Bibel. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tak satu ayat pun yang mengandung doktrin Trinitas. Dengan sepenuh kejujuran, Dr GC Van Niftrik memberikan pengakuan: “Di dalam Alkitab tidak ditemukan suatu istilah yang dapat diterjemahkan dengan kata “Tritunggal” ataupun suatu ayat tertentu yang mengandung dogma tersebut” (Dogmatika Masa Kini, hal. 418).
Dalam sejarahnya, Trinitas juga bukan warisan Yesus. Mulanya, doktrin bahwa Yesus sama dengan Allah dirumuskan dalam sidang (konsili) di Nicea tahun 325 M yang didukung penuh oleh kaisar Constantin Agung. Pasca konsili Nicea, perdebatan mengenai Yesus berlangsung terus-menerus sampai puluhan tahun. Sebagian orang fanatik buta kepada kaisar bahwa Yesus adalah Tuhan, sebagian lagi setia kepada ajaran tauhid bahwa Yesus adalah utusan Tuhan. Maka pada tahun 381 M kaisar Theodosius mengadakan konsili Konstantinopel untuk merevisi konsili Nicea 325 M. Konsili ini melahirkan formula Trinitas dengan menambahkan oknum Roh Kudus sebagai Tuhan di samping Tuhan Allah dan Tuhan Yesus.
Pasca konsili ini, pertentangan teologi justru semakin besar dan luas. Sebagian menerima mentah-mentah doktrin trinitas, tapi sebagian lagi menolaknya dan beroposisi dengan penguasa yang pro-trinitas. Akibatnya, para penentang trinitas ditindas, dikejar-kejar dan dianiaya bahkan ditumpas. Para tokoh yang jadi martir penolak trinitas antara lain: Iranaeus, Tertulianus, Origen, Diodorus, Lucian, Arius dan lain-lain.
ARGUEMENTASI MONYET UNTUK MENDUKUNG AYAT-AYAT PALSU
Belum lama ini, bertepatan dengan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI (17/8/2009) diadakan Dialog Islam–Kristen di Aula Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dengan tema “Yesus Tuhan atau Manusia Biasa?” Dari pihak Islam tampil dua narasumber: Ustadz Masyhud SM dan Insan LS Mokoginta (mantan Katolik), sementara dari pihak Kristen diwakili oleh dua narasumber yaitu: Pendeta Budi Asali, M.Div (Gereja Kristen Rahmani Indonesia) dan Pendeta Esra Alfred Soru, S.Th. (Dosen STII Kupang).
Dalam dialog yang dihadiri oleh 300-an peserta dari kalangan Islam dan Kristen tersebut, Budi Asali dan Esra mendapat kesempatan pertama untuk memaparkan pandangannya tentang keilahian Yesus berdasarkan ayat-ayat Bibel yang diyakininya. Usai pemaparan oleh pihak Kristen, moderator mempersilakan pihak Islam untuk menanggapi.
Masyhud menanggapi dengan singkat, “Menurut saya, Alkitab tidak mampu bicara tentang konsep ketuhanan Yesus. Jangankan bicara ketuhanan Yesus, catatan silsilah Yesus dalam Alkitab saja kacau-balau.” Lalu Masyhud menampilkan contoh kontradiksi silsilah Yesus sbb:
Dalam Injil Matius 1:16 disebutkan bahwa kakek Yesus bernama Yakub: “Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.” Sedangkan menurut Injil Lukas 3:23, kakek Yesus bernama Yusuf: “Ketika Yesus memulai pekerjaannya, ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, ia adalah anak Yusuf, anak Eli.” Silsilah Yesus dalam ayat ini jelas bertentangan dan tidak bisa dikompromikan.
Pendeta Budi Asali menyanggah tudingan ini dengan menyatakan bahwa kedua ayat ini tidak kontradiktif, karena maksud kalimat “Yusuf anak Eli” dalam Lukas 3:23 adalah “Yusuf anak menantu Eli.”
Sepintas, apologi Budi ini memang cespleng untuk menghilangkan kontradiksi Alkitab. Tapi Masyhud tidak mau kalah, “Menurut anda Yusuf adalah anak menantu Eli, padahal Maria adalah istri Yusuf. Lalu mana bukti ayat yang menyatakan bahwa Maria adalah anak Eli?” tukasnya.
Sayangnya, pembicaraan seputar silsilah Yesus tidak berlanjut, karena Budi Asali tidak bisa menunjukkan bukti ayat bahwa Maria adalah anak kandung Eli. Ia hanya berpijak bahwa kata “anak” boleh diartikan “anak menantu.” Jika argumen ini diikuti, apakah semua kata “ayah” dalam Alkitab boleh diartikan “ayah mertua” sebagai konsekuensinya?
Sementara itu, Insan Mokoginta menanggapi paparan kedua pendeta tentang keilahian Yesus, dengan menampilkan banyaknya ayat Alkitab yang membuktikan kemanusiaan dan kenabian Yesus, padahal tak satu ayat pun dalam Alkitab yang menyebutkan Yesus mengaku dirinya sebagai Tuhan yang harus diibadahi dan disembah.
Lalu Mokoginta menambahkan data bahwa satu-satunya ayat Trinitas dalam Bibel adalah ayat palsu. Ayat yang dimaksud adalah: “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu” (I Yohanes 5:7-8).
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru dengan Pengantar dan Catatan terbitan Lembaga Biblika Indonesia tahun 1976/1977, ayat ini divonis palsu dengan penjelasan berikut: “Ayat 7-8: [di dalam sorga..... di bumi]. Bagian ayat ini tidak terdapat dalam naskah-naskah Yunani yang paling tua dan tidak pula dalam terjemahan-terjemahan kuno, bahkan tidak dalam naskah-naskah paling baik dari Vulgata. Bagian ini kiranya aslinya sebuah catatan di pinggir halaman salah satu naskah terjemahan Latin yang kemudian disisipkan ke dalam naskah-naskah oleh penyalin dan akhirnya bahkan disisipkan ke dalam beberapa naskah Yunani. Karenanya bagian ini pasti tidak asli” (hal. 563).
Terhadap argumen ini, kedua pendeta tidak menampik bahkan mengakui adanya kepalsuan ayat dalam Bibel, termasuk kepalsuan ayat Trinitas tersebut. Tapi pengakuan kepalsuan ayat ini tidak serta-merta meruntuhkan keyakinan mereka kepada doktrin Trinitas. Dengan nada tinggi, Budi Asali berkilah, “Apa peduli saya dengan kepalsuan ayat tersebut? Saya meyakini Trinitas maupun ketuhanan Yesus berdasarkan ayat-ayat yang lain!”
Pendeta Esra pun tidak mau berkomentar terhadap bukti-bukti kepalsuan ayat Trinitas, dengan alasan tidak sesuai dengan tema dialog yang disepakati. Menurutnya, tema dialog pagi itu bukan soal otentisitas Bibel, melainkan “Yesus Tuhan atau Manusia Biasa?” Dalam penjelasannya, Esra menerima semua data yang disampaikan Mokoginta, bahwa Yesus memang nabi dan manusia. “Dari sisi kemanusiaan, Yesus memang manusia dan nabi. Tapi dari sisi keilahian, Yesus adalah Anak Allah,” kilahnya. Mokoginta balik bertanya, “Menurut anda, Yesus itu Allah ataukah anak Allah? Kalau Yesus itu anak Allah, berarti Yesus tidak sama dengan Allah (Sang Bapa)”
Pendeta Esra menangkis dengan argumen bahwa Yesus adalah Allah sekaligus anak Allah. “Yesus itu Anak Allah sekaligus Allah juga. Anak Allah pasti Allah juga. Seperti kalau kita bilang anak monyet, itu pasti monyet juga! Siapa bilang anak monyet itu bukan monyet? Anak monyet, di manapun disebut monyet juga tanpa mengurangi kadar kemonyetan bapaknya!” katanya berapologi dengan berapi-api.
Sebagian peserta dari pihak Islam tertawa terpingkal-pingkal mendengar argumen “teologi monyet” ini. Dari bangku peserta, Fendik yang datang jauh-jauh dari Gresik berseloroh, “Tuhan kok, disamakan dengan monyet! Tuhan cap opo iki rek?!”
[A. Ahmad Hizbullah M.A.G. | www.kristenisasi.wordpress.com | ahmadhizbullah@gmail.com | Dimuat di Tabloid Suara Islam edisi 74, tanggal 4 September – 2 Oktober 2009 M, hlm. 18]
0 Komentar