Dalam agama Islam, hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Menurut Al-Ghouri dalam Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsah, yang dimaksud hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir (keputusan), dan sifat.
Keabsahan hadits sebagai sumber hukum Islam ini dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Quran. Di antaranya adalah firman Allah:
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab: 21)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr: 7)".
Ayat ini menekankan bahwa umat Islam harus mengikuti hal-hal yang disampaikan Rasulullah SAW dan menjadikannya tauladan dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah untuk menaati Rasul juga disebutkan dalam Al-Quran;
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…” (QS. An Nisa:59)
Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran
Berdasarkan surat An Nisa ayat 59, diketahui bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum utama dalam agama Islam. Al-Quran telah sempurna, namun pemahaman manusia tidak sempurna sehingga dibutuhkan penjelas agar pesan yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dengan sebenar-benarnya.
Di sinilah peran hadits. Melansir dari jurnal Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran karya Hamdani Khairul Fikri, berikut ini adalah fungsi-fungsi hadits:
Bayan Taqrir (Memperjelas Isi Al-Quran)
Bayan taqrir artinya hadits berfungsi untuk memantapkan dan mengokohkan apa yang telah ditetapkan Al-Quran sehingga maknanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Contohnya adalah surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6).
Kemudian Nabi Muhammad SAW memperjelasnya. Rasulullah SAW bersabda, "tidak diterima sholat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” [HR.Bukhari dan Abu Hurairah].
Hadits tersebut maknanya sama dengan Al-Quran, namun lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
Bayan Tafsir (Menafsirkan Isi Al-Quran)
Bayan tafsir artinya menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya global, dan mengkhususkan ayat yang maknanya umum.
Terdapat kurang lebih enam puluh tujuh ayat Al-Quran yang berisi perintah sholat, namun tidak terdapat rincian bagaimana cara mendirikannya.
Rasulullah SAW kemudian memperagakan sholat secara rinci dan memerintahkan umat Islam untuk menirunya. “Sholatlah kalian seperti kalian melihat aku sedang sholat.”
Takhshish Al-’am (Mengkhususkan yang bermakna umum)
Takhshish Al-’am artinya mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum. Salah satu contohya adalah dalil tentang keharaman bangkai dan darah.
Dalam Al-Quran, Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 3 yang berbunyi: “Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi”. Kemudian Rasulullah SAW mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Beliau bersabda:
“Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa” [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Bayhaqi].
Bayan Tabdila
Artinya mengganti hukum yang telah lewat masa berlakunya. Contoh sunnah yang dianggap Bayan Tabdil adalah zakat pertanian. Dalam Al-Quran disebutkan segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya, namun tidak dijelaskan batasan nisabnya.
Rasulullah SAW memperjelasnya. Beliau bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
0 Komentar