DUA JASAD SAHABAT RASULULLAH YANG UTUH
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al Baqarah (2) : 154) – lihat juga QS Ali Imran : 169.
Hudzaifah Ibnu Al Yamani RA Dan Jabir bin Abdullah Al Ansari RA
Sebagaimana lazimnya kita mengetahui bahwa apabila mayat sudah dikubur pasti akan segera mengalami proses pembusukan dan penguraian apalagi mayat yang sudah dikubur dalam waktu yang sangat lama. Namun, dengan kuasa Allah Swt, kita bisa temui banyak fakta dan bukti yang sangat kuat bahwa mayat atau jenazah para Syuhada (orang yang mati syahid), para Nabi dan orang-orang suci (Waliyullah) itu tetap segar bugar dan tidak mengalami proses pembusukan ketika kuburan mereka itu digali kembali.
Salah satunya adalah peristiwa yang sangat luar biasa ini, yang sempat menghentak publik dunia terutama penduduk di kawasan Timur Tengah. Pada tahun 1932 (bertepatan dengan tahun 1351 H). Pemimpin Iraq yang bernama Shah Faisal I bermimpi dimana dalam mimpinya ia ditegur oleh Huzaifah Al-Yamani (salah seorang sahabat Nabi saw) yang berkata “Ambillah jenazahku dan jenazah Jabir Al-Ansari (sahabat Nabi saw juga) dari tepian sungai Tigris dan kemudian kuburkan kembali di tempat yang aman karena kuburanku dan Jabir sekarang dipenuhi oleh air”. Mimpi yang sama terjadi berulang-ulang pada malam-malam berikutnya akan tetapi Shah Faisal I tidak terlalu memperdulikan mimpi itu. Pada malam ketiga Huzaifah Al-Yamani hadir dalam mimpi Mufti Besar Iraq. Huzaifah Al-Yamani berkata dalam mimpi sang Mufti itu “Aku telah memberitahukan Raja dua malam sebelumnya untuk memindahkan jenazahku akan tetapi tampaknya ia tidak peduli. Beritahukanlah kepada Raja agar ia mau sedikit berempati untuk memindahkan kuburan-kuburan kami”.
Maka setelah dimusyawarahkan maka diputuskan pada tanggal 20 Dzulhijjah setelah shalat Dzhuhur dan Ashar, makam kedua sahabat Nabi itu akan dibuka dan jenazahnya akan dipindahkan ke tempat lain. Ketika makam Hudzaifah Al-Yamani dibuka segera mereka melihat bahwa kuburan itu dipenuhi air di dalamnya. Selanjutnya tubuh Jabir bin Abdullah Al-Ansari juga dipindahkan.
Kedua jenazah suci dari sahabat sejati Nabi ini kelihatan masih segar dan tak tersentuh oleh bakteri pengurai sedikitpun. Keduanya dengan mata terbuka, mata yang telah menatap sinar Kenabian, Subahanallah ! Selain tubuh keduanya yang tampak segar bugar, juga pakaian yang mereka kenakan pada saat dimakamkan semuanya utuh dan kalau dilihat sekilas kedua Sahabat Nabi ini tampak seperti masih hidup dan hanya terbaring saja. Kedua jasad suci ini akhirnya dibawa dan dikebumikan kembali di kuburan yang baru tidak jauh dari kuburan sahabat Nabi lainnya yaitu Salman Al-Farisi. Seorang ahli fisiologis dari Jerman, Ia melihat langsung kondisi tubuh jenazah kedua sahabat Nabi itu yang telah dikuburkan selama 1300 tahun lamanya, kemudian beliau mendatangi Mufti Besar Iraq dan mengatakan “Bukti apalagi yang harus dicari bahwa Islam itu benar, Sekarang juga aku masuk Islam, Ajari aku tentang Islam“. Dan seketika itu juga banyak orang lainnya yang beragama Nasrani dan Yahudi turut juga menyatakan ke Islamanya.
Hudzaifah Ibnu Al Yaman RA
Penduduk kota Madain berduyun-duyun menyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Khalifah Umar ra. Ketika mereka menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncul seorang lelaki dengan wajah berseri-seri. Ia mengenderai seekor keledai yang beralaskan kain usang, kedua kakinya teruntai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam. Orang itu tidak lain dari Hudzaifah Ibnul Yaman. Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar? Hudzaifah meneruskan perjalanan, sementara orang-orang berkerumun mengelilinginya lalu beliau berkata “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!” Ujar mereka, “Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?” Ia berkata, “Pintu-pintu rumah pembesar! Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan!”. Suatu pernyataan yang luar biasa dan sangat menakjubkan.
Hudzaifah Ibnul Yaman, Ia terdidik di tangan Rasulullah Saw dengan kalbu terbuka, tak ubah bagai cahaya subuh. Ia mengutuk orang-orang yang riya, berbelit-belit, dan culas bermuka dua! Ia bergaul dengan Rasululah Saw, dan sungguh tak ada lagi tempat baik agar bakat Hudzaifah ini tumbuh subur dan berkembang selain didalam pangkuan Islam. Hudzaifah telah di karuniai fikiran yang jernih yang menyebabkan sampai pada suatu kesimpulan bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang baik itu adalah yang jelas dan gambling, yang jelek adalah yang gelap dan samar-samar. Oleh karena itu, orang yang bijaksana hendaklah mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.
Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah Saw tetang kebaikan, tetapi Hudzaifah Ibnul Yaman menanyakan kepada Nabi tentang kejahatan karena takut akan terlibat di dalamnya. ”Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?’ ‘Ada,’ ujarnya. ‘Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?’ Tanyaku pula. ‘Memang, tetapi kabur dan bahaya,’ jawabnya. Tanyaku, ‘Apa bahaya itu?’ Jawabnya, ‘Yaitu segolongan umat mengikuti sunah bukan sunahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.’ Kemudian setelah kebaikan tersebut, masihkah ada lagi kejahatan? Tanyaku pula. ‘Masih,’ ujar Nabi, ‘yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka!’ Lalu kutanyakan kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?’ Ujar Rasulullah, ‘senantiasa mengiuti jamaah Kaum Muslimin dan pemimipin mereka!’ Bagaimana kalau mereka tidak punya jamaah dan tidak pula pemimpin? ‘Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walaupun kamu akan tinggal di rumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian…!” Nah, tidakkah anda perhatikan ucapan Hudzaifah r.a. “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya?”
Suatu ketika ia melihat bapaknya yang telah beragama Islam tewas di perang Uhud, dan di tangan laskar Islam sendiri, yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang musyrik! Hudzaifah melihat dari jauh pedang sedang di hunjamkan kepada ayahnya, ia berteriak, “Ayahku, ayahku, jangan, ia ayahku!” Tetapi qadha Allah telah tiba. Ketika kaum Muslimin mengetahui hal itu, mereka pun merasa duka dan sama-sama membisu. Sambil memandangi mereka dengan penuh sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, Ia mengatakan, “Semoga Allah mengampuni tuan-tuan. Ia adalah sebaik-baik Penyayang”. Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya. Akhirnya peperangan pun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga Rasulullah Saw. Maka di suruhnya membayar diat atas terbunuhnya ayahanda Hudzaifah (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudzaifah ini dan di suruh membagikannya kepada Kaum Muslimin. Keimanan dan kecintaan Hudzaifah tidak kenal lelah dan lemah. Hal itu menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya.
Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari golongan yahudi, Rasulullah Saw bermaksud hendak mengetahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya. Suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan telah mencapai saat-saat yang gawat dikalangan sahabat Rasulullah Saw. Siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apa pun kekuatan itu yang berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan mereka? Maka, Rasulullah Saw memilih di antara para sahabatnya orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini, dia adalah Hudzaifah ibnu Yaman. Beberapa pertempuran kaum muslimin yang diikuti oleh Hudzaifah ibnu Yaman ketika dimasa Kekhalifahan Umar yaitu perang Nehawand, beliau sebagai komandan pasukan dibawah pimpinan Nukman bin Muqarrin. Namun ketika Nukman wafat atas perintah Khalifah maka digantikan kepemimpinan oleh Hudzaifah ibnu Yaman. Kemudian Hudzaifah ibnul Yaman pernah diperintah oleh khalifah Umar untuk mencari pemukiman di kuffah. “Dari beberapa tugas yang dimanahkan terlihat bahwa Hudzaifah ibnul Yaman adalah orang yang aktif didalam struktural Islam, beliau selalu ambil bagian dan tidak pernah menolak tugas yang diamanahkan kepadanya”.
Pada suatu hari dalam tahun 36 Hijriyah, saatnya Hudzaifah menghadap Sang Ilahi. Dan tatkala ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat untuk melakukan perjalanannya yang terakhir, masuklah beberapa orang sahabatnya. Maka di tanyakannya kepada mereka, “Apakah tuan-tuan membawa kain kafan?” “Ada,” ujar mereka. “Coba lihat,” kata Hudzaifah pula. Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah, terlukislah di bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, lalu katanya, “Kain kafan ini tidak cocok bagiku, cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju. Tidak lama aku akan berada di kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau yang lebih jelek” Kemudian ia menggumamkan beberapa kalimat tatkala di dengarkan oleh hadirin dengan mendekatkan telinga mereka “Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati bahagia, tidak ada keluh sesalku”. Ketika itu, naiklah membumbung ke hadirat Ilahi, ruh suci di antara arwah para shalihin, ruh yang cemerlang, taqwa, tunduk dan berbakti. Semoga Allah merahmatinya, Aamiin. (Untuk pembahasan sirah sahabat Jabir bin Abdullah Al Ansari insya Allah edisi mendatang).
Jabir bin Abdullah Al Ansari RA
Rombongan kendaraan melaju mempercepat langkah dari Yatsrib ke Mekah karena didorong oleh rasa kerinduan kepada seseorang yang dicintai. Mereka sudah berjanji kepada Rasulullah untuk bertemu. Setiap orang yang berada di rombongan itu sangat rindu dengan suatu waktu pada saat akan merasakan kebahagiaan bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan meletakkan tangan di atas tangan beliau dengan membai‘atnya untuk selalu mendengarkan perintahnya dan taat, serta berjanji untuk saling menguatkan dan menolong. Di antara rombongan itu, ada orang tua, salah seorang pemuka kaum, membonceng anak laki-laki satu-satunya yang masih kecil di belakangnya. Ia meninggalkan sembilan anak perempuan di Yatsrib karena ia tidak memiliki anak laki-laki yang kecil selainnya. Orang tua itu sangat ingin anaknya bisa menyaksikan bai‘at dan tidak kehilangan hari agung yang dianugerahkan itu. Orang tua itu bernama Abdullah ibnu Amr al-Khazraji al-Anshari dan anaknya bernama Jabir ibnu Abdullah al-Anshari. Keimanan bersinar di hati Jabir ibnu Abdullah, sedangkan ia masih kecil dan segar. Keimanan pun menyinari setiap sendinya. Islam menyentuh jiwanya yang halus seperti tetesan-tetesan hujan menyentuh kelopak bunga. Tetesan-tetesan itu pun membukanya dan memenuhinya dengan semerbak wangi-wangian. Hubungan Jabir dan Rasulullah Saw menjadi kuat sejak mudanya.
Ketika Rasulullah Saw yang mulia datang berhijrah ke Madinah, anak kecil yang mukmin ini berguru kepada Nabi pembawa petunjuk dan rahmat. Ia pun menjadi sebagian orang utama yang diluluskan oleh pendidikan Muhammad menjadi penghafal Kitab Allah untuk kepentingan manusia dan menjadi periwayat hadits Rasulullah Saw.. Cukuplah kita mengetahui bahwa Musnad Jabir ibnu Abdullah terkumpul di antara kedua sisinya sebanyak 1.540 hadits. Dihafallah semua hadits itu oleh seorang murid yang pandai dan meriwayatkannya dari Nabi kaum muslimin yang agung. Imam Bukhari dan Imam Muslim menetapkan dalam dua kitab shahihnya lebih dari 200 hadits dari hadits-haditsnya. Ia menjadi sumber penyiaran dan petunjuk bagi kaum muslimin sepanjang waktu. Allah pun memanjangkan kehidupannya sehingga umurnya sampai satu abad.
Jabir ibnu Abdullah tidak mengikuti Perang Badar dan Perang Uhud bersama Rasulullah Saw karena di satu sisi ia masih kecil dan di sisi lain ayahnya memerintahkannya untuk tinggal bersama sembilan saudara perempuannya. Hal itu terjadi karena tidak ada seorang pun selainnya yang menjaga urusan mereka. Jabir menceritakan, “Ketika pada suatu malam menjelang Perang Uhud, ayah memanggilku dan berkata, ‘Sungguh aku tidak melihat diriku, kecuali terbunuh bersama sahabat-sahabat Rasulullah Saw dan sesungguhnya, demi Allah, aku memiliki utang kepada seseorang. Kau lunasilah utangku, sayangilah saudara-saudara perempuanmu, dan berikanlah wasiat kebaikan kepada mereka”. Ketika waktu sudah pagi, ayahku menjadi orang pertama yang terbunuh di Perang Uhud. Ketika ingin menguburkannya, aku mendatangi Nabi Muhammad Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah membebankan utangnya kepadaku. Dan aku tidak memiliki sesuatu pun untuk melunasinya, kecuali apa yang dapat dipetik dari pohon kurmanya. Kalau aku mengandalkan pohon itu untuk melunasi utangnya, maka aku akan melunasinya selama beberapa tahun, sedangkan saudara-saudara perempuanku tidak memiliki harta untuk dinafkahkan kecuali dari pohon itu”.
Rasulullah berdiri dan pergi bersamaku ke tempat penyimpanan korma kami. Rasulullah Saw berkata kepadaku, “Panggillah orang-orang yang berpiutang kepada ayahmu.” Maka aku pun memanggil mereka. Beliau masih saja menakar hingga Allah melunasi utang ayahku dengan korma. Aku melihatnya seperti sediakala, seakan-akan tidak berkurang satu biji korma pun. Sejak ayahnya meninggal, Jabir tidak pernah absen dari satu peperangan pun bersama Rasulullah Saw.. Di setiap peperangan, ia mengalami sebuah peristiwa yang diriwayatkan dan dijaga. Kita tinggalkan pembicaraan tentangnya. Ia sendiri yang menceritakan salah satu peristiwa bersama Rasulullah Saw. Jabir berkata, “Pada hari persiapan Perang Khandaq, kami menggali. Lalu batu besar yang keras menghalangi kami, sehingga kami pun tidak mampu untuk memecahkannya. Kami datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Nabi Allah, jalan kami terhalang dengan batu besar yang keras. Cangkul-cangkul kami tidak dapat berbuat apapun terhadapnya.’ Maka Nabi Muhammad Saw berkata, ‘Tinggalkan batu itu, aku akan turun ke batu itu.’ Kemudian beliau berdiri sedangkan perutnya diganjal dengan batu karena sangat lapar. Hal itu terjadi karena kami tidak makan selama tiga hari. Maka beliau mengambil cangkul dan memukul batu itu. Maka batu itu pun menjadi pasir secara perlahan-lahan.”
Ketika itu, keinginanku untuk menolong rasa lapar yang menimpa Rasulullah Saw bertambah. Maka aku pun menghadapnya dan berkata, “Apakah kau izinkan aku pergi ke rumahku wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Pergilah.” Ketika sampai di rumah, aku berkata kepada istriku, “Aku lihat baginda Rasulullah merasakan rasa lapar yang amat sangat. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat menahannya. Apakah kau mempunyai sesuatu?” Dia berkata, “Aku punya sedikit biji gandum dan kambing kecil.” Aku berdiri menuju kambing itu lalu menyembelihnya dan memotong-motongnya. Setelah itu, aku letakkan di kuali. Aku juga mengambil biji gandum dan menggilingnya. Lalu aku serahkan kepada istriku. Ia pun memasaknya. Ketika aku tahu daging itu hampir matang, dan adonan sudah lembut dan hampir matang, aku pergi menuju Rasulullah Saw.. Aku katakan kepadanya, “Kami sudah membuat sedikit makanan untukmu wahai Nabi Allah. Makanlah beserta satu orang atau dua orang yang kau ajak makan bersamamu.” Beliau bertanya, “Berapa banyak makannya?”
Aku pun menyebutkan banyaknya. Ketika Rasulullah Saw tahu ukuran makanan itu, beliau berkata, “Wahai para pembuat parit, Jabir telah membuat makanan untuk kalian. Kemarilah kita menuju rumahnya. “Kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Pergilah ke istrimu dan katakan kepadanya, ‘Jangan kau turunkan kualimu dan jangan kau buat roti adonanmu sampai aku datang“. Aku pun pergi ke rumah. Aku merasa gundah dan malu. Tidak ada yang tahu keadaanku ini kecuali Allah. Aku pun berkata, “Apakah penduduk Khandaq akan datang kepada kita dengan hanya disuguhi satu sha gandum dan satu kambing kecil? “Aku pun menemui istriku dan berkata, “Celakalah engkau, ketahuan keadaanku yang sebenarnya. Rasulullah Saw akan datang bersama semua pembuat parit ke rumah kita.”Ia pun berkata, “Apakah beliau berkata, ‘Berapa banyak makananmu? Aku jawab, “Ya”. Ia berkata, hilangkanlah kegundahanmu dari dirimu, Allah dan Rasul-Nyalah lebih tahu. Hilanglah kesedihanku dengan perkataannya itu. Makanan itu hanya sedikit hingga Rasulullah tiba. Bersama beliau, ada orang-orang Anshar dan Muhajirin. Beliau berkata, “Masuklah dan jangan berdesak-desakan.”Kemudian beliau berkata kepada istriku, “Datangkan seorang pembuat roti untuk membuat roti bersamamu. Duduklah menunggui kualimu dan jangan menurunkannya dari tempat apinya.”
Kemudian ia pun mulai memperbanyak roti, mengisinya dengan daging, dan mendekatkannya kepada para sahabat beliau, sedangkan mereka menyantap makanan hingga semuanya kenyang. Kemudian Jabir menyusul sambil berkata, “Aku bersumpah kepada Allah, bahwa mereka ramai-ramai memakan makanan itu, sedangkan periuk kami mendidih dengan penuh seperti sediakala dan adonan kami bisa dibuat kue seperti sediakala. Kemudian Rasulullah Saw berkata kepada istriku, “Makanlah dan bagikanlah.” Ia pun makan dan mulai menghadiahkannya sepanjang hari itu. Karena itulah, Jabir ibnu Abdillah al-Anshari telah menjadi sumber penyiaran dan petunjuk bagi umat muslim dalam tempo yang lama. Allah telah memanjangkan umurnya hingga hampir satu abad. Di suatu tahun, ia keluar menuju Kerajaan Romawi untuk jihad fi sabilillah. Pasukan itu dipimpin oleh Malik ibnu Abdillah al-Khatsami. Malik berkeliling-keliling dengan tentaranya. Mereka berangkat untuk mengetahui situasi mereka dan memperkuat kekuatan mereka, serta berbuat baik kepada para pembesarnya dengan kekuatan yang mereka miliki.
Malik kemudian bertemu dengan Jabir ibnu Abdillah yang sedang berjalan kaki, padahal ia sedang membawa keledainya yang diikat dengan tali kekangnya dan dituntun olehnya. Maka Malik berkata, “Ada apa denganmu, wahai Abu Abdullah? Kenapa kau tidak menungganginya? Padahal Allah memberikan kemudahan kepadamu dengan punggungnya yang dapat membawamu.”Maka ia pun berkata, “Aku dengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu dalam mengerjakan perintah Allah, maka Allah akan mengharamkannya masuk neraka.” Kemudian Malik meninggalkannya dan pergi hingga esok pagi ia muncul mendahului para tentara. Kemudian Malik menoleh kepadanya dan memanggilnya dengan suara keras, “Wahai Abu Abdullah, kenapa engkau tidak menunggangi keledaimu, padahal itu milikmu”. Jabir pun mengetahui maksudnya dan menjawabnya dengan suara yang keras, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu dalam melaksanakan perintah Allah, maka Allah mengharamkannya masuk neraka“. Orang-orang pun melompat dari binatang tunggangannya. Mereka semua mendapatkan ganjaran ini. Tidak ada pasukan yang pejalan kakinya lebih banyak dari pasukan itu. Beruntunglah Jabir ibnu Abdillah al-Anshari. Ia telah membaiat Rasulullah Saw yang mulia, sedangkan ia masih kecil, belum balig, berguru kepada Nabi Muhammad Saw sejak kuku-kukunya masih halus, meriwayatkan hadits-hadits yang dinukil oleh para perawi hadits, berjihad bersama Rasulullah Saw padahal ia seorang pemuda dan menebarkan debu ke kakinya di jalan Allah padahal ia sudah tua.
[Dari Khilafatul Muslimin | Sumber: Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, Khalid Muh. Khalid – Edited redaksi].
** Lihat juga kisah-kisah serupa di sini
** Lihat juga kisah-kisah serupa di sini
0 Komentar