Banyak kalangan di luar Islam yang tidak mengerti apa-apa tenang Islam, atau mengerti serba sedikit tapi sama sekali yang tidak faham tentang konsep ketuhanan dalam ajaran Islam kerapkali melontarkan tuduhan bahwa umat Islam menyembah ka’bah dan batu hitam bernama Hajar Aswad.
Dalam forum-forum dialog lintas agama, khususnya antara umat Kristen dan umat Islam, issue ini termasuk salahsatu dari sekian topik yang paling sering diangkat oleh umat kristen dengan tujuan mengolok-olok ritual ibadah umat muslim.
Semua orang tahu bahwa Hajar Adswad hanya sebuah batu
Dikisahkan, Umar bin Khathab, sahabat Rasulullah saw yang kemudian diangkat menjadi Khalifah umat muslim berkata, “Aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu yang tidak dapat mendatangkan mudarat maupun manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” [HR. Bukhari]
Ka’bah hanyalah benda mati, ia hanya dijadikan oleh Allah Jalla wa ‘Ala sebagai kiblat umat muslim dalam ibadah khususnya shalat dan haji. Perkataan atau ucapan kaum jahil ini hanya didasari oleh apa yang mereka lihat, yakni kaum muslimin ketika shalat menghadap ke arah ka’bah, lalu mereka pun berkesimpulan: umat Islam menyembah ka’bah.
Terhadap ucapan jelek mereka ini kita jawab: Sesungguhnya umat Islam hanya menjadikan Ka’bah sebagai arah hadap dalam menyembah Allah, bukan menyembah ka’bah sebagaimana firman Allah Subhanallah Ta’ala:
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ
“Hendaklah mereka menyembah kepada Tuhan, Allah ta’ala, Tuhan Yang memiliki Rumah ini, Yang memiliki Ka’bah.” (QS. Quraisy:3)
Ayat di atas bermakna dan mempunyai pengertian bahwa baitullah (ka’bah) adalah milik Allah, dan Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk menyembah Sang Pemilik Ka’bah. Bukan ka'bah-Nya!
Ka’bah sendiri berarti kubus persegi empat yang dalamnya kosong, tidak ada apa-apanya. Adapun Hajar Aswad berada di salkahsatu sudut di luar ka’bah, bukan ditengah-tengah ka’bah. Sedangkan fungsi Ka’bah adalah sebagai arah hadap, sesuai dengan arti kata qiblat itu sendiri, yaitu arah hadap.
Dapat dibayangkan seandainya umat Islam tidak memiliki arah qiblat yang tetap, maka bagaimanakah shalat jama’ah mereka? Sang Imam ingin menghadap ke utara, namun mungkin makmumnya ada yang ingin menghadap ke selatan, barat, atau utara. Maka berantakanlah shalat mereka semua!
Supaya umat Islam selalu berada dalam satu kesatuan yang rapih, teratur, dan kokoh setiap saat menyembah Allah Subhanallah Ta’ala, maka Allah Subhanallah Ta’ala menetapkan arah qiblat. Jadi, ini bukan berarti umat Islam menyembah Ka’bah, walaupun ketika shalat mereka menghadap ka’bah. Kenapa? Sekali lagi, karena umat Islam hanya menjadikan ka’bah sebagai patokan arah menghadap.
Adapun yang namanya patokan arah, tentu saja tidak akan sempurna jika tidak terlihat mata. Maka dibangun (kembali) lah oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ka’bah sebagai patokan arah, supaya orang melihat; ke arah sana, ke arah ka’bah hendaknya kaum muslimin di seluruh dunia menyatukan arah.
Umat muslimin diperintahkan beribadah menghadap ke arah yang sama dengan satu patok yang sama, yaitu ka’bah. Bukti kalau umat Islam tidak menyembah ka’bah yaitu sebelum umat Islam menyembah Allah Subhanallah Ta’ala dengan menghadap ke arah ka’bah, lebih dahulu Allah Subhanallah Ta’ala memerintahkan mereka menghadap ke arah Baitul Maqdis. Jadi umat Islam generasi awal diperintah menyembah Allah Subhanallah Ta’ala dengan menghadap kearah Baitul Maqdis yang ada di Palestina. Ini pada masa-masa awal perkembangan Islam sampai kemudian turun perintah berikut sebagai akibat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dicemooh oleh orang-orang Yahudi yang berkata: "Lihatlah orang-orang Islam, mereka mengikuti qiblat kami!”
Karena umat Islam pada masa awal shalat dengan menghadap ke Yerussalem, menghadap ke Baitul-Maqdisdi Palestina, maka ini mengundang cemoohan orang-orang Yahudi. Ini membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam berkali-kali memohon kepada Alloh: Ya Allah, Ya Allah. Meminta agar dipalingkan, dikembalikan qiblatnya, arah hadapnya ke Baitullah, ke Ka’bah, ke Masjidil-Haram.
Andaikata umat Islam, Rasulullah dan kaum muslimin menyembah ka’bah, tidak perlu Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam memohon kepada Allah, bahkan berkali-kali agar dapat dihadapkan kembali ke MasjidilHaram, sebagaimana pada zaman Nabi Ibrohim dan Nabi Isma’il ‘alaihimas-salaam. Sampai akhirnya Allah Subhanallah Ta’ala berfirman:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِيالسَّمَاءِ
“Kami sering melihatmu, kata Allah Subhanallah Ta’ala: Kami sering melihatmu membolak-balikkan wajahmu ke langit, ”
Apa artinya? Kami sering melihatmu hai Muhammad – shallallahu ‘alaihiwa sallam – membolak-balikkan wajahmu ke langit,yaitu memohon kepada Allah. Ini, Rasul harus memohon berkali-kali agar bisa dihadapkan kembali ke Masjidil Haram. Andaikata Rasul menyembah ka’bah, umat Islam menyembah ka’bah, tidak perlu memohon kepada Allah Subhanallah Ta’ala agar dipindahkan arah qiblatnya ke Baitullah.
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
“Maka sekarang hadapkanlah wajahmu ke arah mana, qiblat mana yang kamu ridhai.”
Allah mengabulkan permohonan Nabi setelah beliau berulang-ulang memohon kepada Allah
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِالْحَرَامِ
“Maka sekarang hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Allah Subhanallah Ta’ala memerintahkan kaum muslim untuk menghadapkan diri dalam beribadah kearah Masjidil Haram, dan Ingat bahwa Allah tidak pernah menyuruh umatnya untuk menyembah Ka’bah, hanya menghadap. Hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Jadi terbukti bahwa Ka’bah hanya sebagai arah hadap kaum muslim untuk menyembah Allah Subhanallah Ta’ala. Bukti lain bahwa Ka’bah hanya sebagai arah hadap kaum muslim dalam beribadah ialah bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya pernah melakukan ibadah shalat di dalam Ka’bah.
Dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam: Rasul masuk ke dalam Ka’bah, lalu menjadikan pintu Ka’bah di belakang punggungnya, yang artinya, berarti Hajar Aswad ada pula di belakang sebelah kiri beliau. Lalu beliau shalat di dalam Ka’bah dengan menghadap ke arah mana beliau menghadap, yaitu ke arah depan, yaitu sejarak 3 hasta dari depan, 3 hasta dari tembok depan, kemudian Rasulullah shollallohu’alaihi wa sallam berhenti dan shalat di situ. Demikian pula para shahabat Nabi, mereka shalat di beberapa pojokan-pojokan Ka’bah. Dan ini tidak menjadi masalah. Ke arah mana pun mereka menghadap ketika mereka di dalam Ka’bah, mereka ada di arah qiblat. Sehingga ke mana pun mereka menghadap, tidak masalah.
Ka’bah adalah ruang kosong, sehingga shalat di dalam Ka’bah berarti ia shalat persis di arah Ka’bah, atau di arah qiblat. Ini menjadi dalil bahwasanya kaum muslimin tidak menyembah Ka’bah, karena boleh saja umat Islam shalat di dalam Ka’bah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dan shahabatnya.
Andaikata kita, Nabi, dan kaum muslimin di seluruh dunia menyembah Ka’bah, tentu saja mereka tidak boleh shalat di dalam Ka’bah.
Begitu pula Rasulullah SAW melarang para shahabat Nabi bersumpah dengan mengatakan: WAL-KA’BAH “Demi Ka’bah.” Rasul melarang dan menggantinya dengan kata WA ROBBIL-KA’BAH “Demi Tuhan Yang memiliki Ka’bah!” Karena tidak boleh bersumpah dengan selain nama Allah Subhanallah Ta’ala.
Ka’bah adalah qiblat, yaitu arah kaum muslimin menghadap dalam shalat mereka. Perlu dicatat lagi bahwa walaupun menghadap Ka’bah dalam shalat, umat Islam tidak menyembah Ka’bah. Kaum muslimin hanya menyembah dan bersujud kepada Allah. Ketika mereka melakukan thawaf di Ka’bah atau mencium Hajar Aswad, itu semua dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Allah-lah yang memerintahkan kaum muslim untuk menyembah-Nya dengan cara seperti itu.
Islam menghendaki persatuan
Ketika kaum muslimin hendak menunaikan shalat, bisa jadi ada sebagian orang yang ingin menghadap ke utara, sedangkan yang lainnya ingin menghadap ke selatan. Untuk menyatukan kaum muslimin dalam beribadah kepada Allah maka kaum muslimin di mana pun berada diperintahkan untuk hanya menghadap ke satu arah, yaitu Ka’bah. Kaum muslimin yang tinggal di sebelah barat Ka’bah, mereka shalat menghadap timur. Begitu pula yang tinggal di sebelah timur Ka’bah, mereka menghadap barat.
Ka’bah adalah pusat peta dunia
Kaum muslimin adalah umat pertama yang menggambar peta dunia. Mereka menggambar peta dengan selatan menunjuk ke atas dan utara ke bawah. Ka’bah berada di pusatnya. Kemudian, para kartografer Barat membuat peta terbalik dengan utara menghadap ke atas dan selatan ke bawah. Meski begitu, Alhamdulillah, Ka’bah tetap saja terletak di tengah-tengah peta mereka.
Tawaf keliling Ka’bah untuk menunjukkan keesaan Allah
Ketika kaum muslimin pergi ke Masjidil Haram di Mekah, mereka melakukan tawaf atau berkeliling Ka’bah. Ritual ini melambangkan keimanan dan peribadahan kepada satu Tuhan. Sama persis dengan lingkaran yang hanya punya satu pusat maka hanya Allah saja yang berhak disembah.
Pada zaman Nabi Orang berdiri di atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan
Orang bahkan berdiri di atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Bisa ditanyakan kepada mereka yang menuduh kaum muslimin menyembah Ka’bah; penyembah berhala mana yang berdiri di atas berhala sesembahannya?
Berikut hadis pendukung bahwa Ka’bah hanya berfungsi sebagai arah kiblat dan pemersatu umat Islam:
- Al-Barra’ mengatakan bahwa ketika Nabi SAW. pertama kali tiba di Madinah, beliau singgah pada kakek-kakeknya atau paman-pamannya dari kaum Anshar. Beliau melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Tetapi, beliau senang kalau kiblatnya menghadap ke Baitullah. (Dan dalam satu riwayat disebutkan: dan beliau ingin menghadap ke Ka’bah 1/104). Shalat yang pertama kali beliau lakukan ialah shalat ashar, dan orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Maka, keluarlah seorang laki-laki yang telah selesai shalat bersama beliau, lalu melewati orang-orang di masjid [dari kalangan Anshar masih shalat ashar dengan menghadap Baitul Maqdis] dan ketika itu mereka sedang ruku. Lalu laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi demi Allah, sesungguhnya aku telah selesai melakukan shalat bersama Rasulullah saw dengan menghadap ke Mekah.” Maka, berputarlah mereka sebagaimana adanya itu menghadap ke arah Baitullah [sambil ruku 8/134], [sehingga mereka semua menghadap ke arah Baitullah]. Orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab suka kalau Rasulullah saw. shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Maka, ketika beliau menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, mereka mengingkari hal itu, [lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat 144 surat al-Baqarah, "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit." Lalu, beliau menghadap ke arah Ka'bah. Maka, berkatalah orang-orang yang bodoh, yaitu orang-orang Yahudi, "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allahlah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." 7/104]. [Dan orang-orang yang telah meninggal dunia dan terbunuh dengan masih menghadap kiblat sebelum dipindahkannya kiblat itu, maka kami tidak tahu apa yang harus kami katakan tentang mereka, lalu Allah menurunkan ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (Surat al-Baqarah - 143)].
- Abdullah bin Umar berkata, “Pada waktu orang-orang sedang melakukan shalat subuh di Quba’, tiba-tiba mereka didatangi seseorang (untuk menyampaikan berita). Orang itu berkata, ‘Sesungguhnya, malam tadi telah diturunkan kepada Rasulullah saw. Al-Qur’an (yakni wahyu). Beliau diperintahkan shalat menghadap ke Kabah. [Maka ingatlah, menghadaplah kalian ke Kabah! 5/152].’ Mereka lalu menghadap ke Ka’bah, padahal waktu itu wajah mereka sedang menghadap ke Syam. Mereka lalu menghadapkan wajahnya ke Ka’bah.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan Insya Allah, semakin menambah tingkat iman dan taqwa setiap muslim hanya kepada Allah Subhanallah Ta’ala.
Amin Ya Rabbal Alamin.
[Sumber: Islam Menjawab Fitnah]
0 Komentar