Tak ada seorangpun muslim yang benar dengan keimannya yang tidak mengenal nama ini. Ia adalah salah seorang Nabi yang mulia. Darinya dan dari keluarganya, Allah telah mendeklarasikan beberapa syariatnya seperti ibadah haji dan kurban yang sebentar lagi menghampiri. Ia yang meninggikan pondasi bangunan Baitullah. Dan darinya pula nabi-nabi setelahnya mendapatkan nasabnya.
Namanya tersebut di banyak ayat dalam al-Quran. Kisahnya senantiasa dijadikan rujukan bagi umat-umat setelahnya yang berpegang teguh pada akidah yang benar. Dan bahkan ia selalu tersebut dalam doa kaum muslimin di setiap shalat-shalatnya. Dia adalah Ibrahim a.s., sang kekasih Allah. Ibrahim Al-Khalil.
Allahumma shaliy ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad, kama sholaita ‘ala ibrahim wa ‘ala ali ibrahim. Wa barik ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad, kama barokta ‘ala ibrahim wa ‘ala ali ibrahim.
Nasab dan Kota Kelahirannya
Dia adalah Ibrahim bin Tarikh bin Nahur bin Sarugh bin Ra’u bin Faligh bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh a.s.Nasab tersebut diambil oleh Ibnu Katsir dari ahlul kitab. Sedangkan jumhur ulama nasab, seperti Ibnu Abbas mengatakan bahwa nama Bapak Ibrahim adalah Tarih (bukan dengan huruf khaa’). Sedangkan dalam QS. al- An’am ayat 74 disebutkan bahwa nama bapak Ibrahim adalah Azar.“Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar …” (QS. Al-An’am : 74)
Ada yang mengatakan bahwa Azar adalah julukan sebuah patung yang disembah oleh Bapak Ibrahim. Namun Ibnu Jarir menguatkan bahwa nama Bapak Ibrahim adalah sesuai dengan yang disebut dalam al-Quran yaitu Azar. Boleh jadi ia memiliki dua nama, di mana yang satu adalah nama aslinya dan yang lain adalah gelarnya. Ibnu Katsir cenderung pada pendapat ini. Wallahu a’lam.
Menurut al Hafidz Ibnu Asakir dalam kitabnya at-Tarikh disebutkan bahwa Ibu Ibrahim bernama Amilah. Sedang menurut al-Kalbiy nama ibu ibrahim adalah Buna binti Karbina bin Kartsi yang berasal dari bani Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.
Ibrahim lahir di daerah Kaldaniyin/Babilonia, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Asakir dan telah mahsyur di kalangan sejarawan. Ia mempunyai dua orang saudara laki-laki yaitu Nahur dan Haran. Haran memiliki putra bernama Luth, yang kemudian mendapat kemuliaan menjadi Nabi pula. Jadi Nabi Luth as adalah keponakan dari Nabi ibrahim as.
Kenabian dan Dakwah Ibrahim kepada Keluarganya
Pada saat itu, semua manusia di bumi berada dalam kesesatan. Mereka menyembah bintang-bintang dan berhala. Kemudian Allah Ta’ala berkehendak untuk menghilangkan kesesatan tersebut dengan mengutus Ibrahim as. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan Kami mengetahui (keadaan) nya.” (QS. Al-anbiya’ : 51)
Sebagai pengemban risalah maka tugasnya tak lain dan tak bukan adalah untuk menyeru manusia agar hanya menyembah Allah semata. Dan dakwah yang pertama kali dilakukan oleh Ibrahim adalah kepada Bapaknya, karena Bapaknya adalah orang yang paling berhak untuk diberikan nasehat olehnya. Ibrahim menyeru bapaknya kepada kebenaran dengan ungkapan yang lemah lembut lagi dengan cara yang baik sebagaimana yang terukir kekal dalam al-Quran Surat Maryam ayat 42-45:
“Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai Bapakku, janganlah kamu menyembah syetan. Sesungguhnya syetan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai Bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan syetan.”
Wahai para penyeru di jalan Allah, perhatikanlah kalimat yang digunakan Ibrahim untuk menyeru Bapaknya. Sangat jelas, tegas, dengan hujjah dan argumen yang kuat, namun tanpa kehilangan kesantunan dan sentuhan kasih sayang. Maka semoga kita mampu berkaca padanya agar tidak kehilangan kesantunan saat mendakwahi keluarga kita maupun orang-orang disekeliling kita. Karena kelembutan itu akan mendatangkan kebaikan pada setiap sesuatu yang dihampirinya.
Namun setelah ikhtiar terbaik yang diserukan oleh Ibrahim, apa jawab Bapaknya?“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam. Dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama” (QS. Maryam : 46)
Ujian pertama dari Allah untuk nabi-Nya. Bukankah penolakan kebenaran yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita itu selalu membawa kesedihan yang luar biasa? Dan kadang kala gertakan serta ancaman mereka menjadi penyurut langkah kita dalam usaha untuk menapak di jalan-Nya. Tapi tidak dengan Ibrahim, kekasih-Nya. Masih dengan kesantunan ia menjawabnya:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesunggunya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah. Dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.” (QS. Maryam : 47-48)
Ibrahim pun kemudian memintakan ampunan untuk Bapaknya sebagaimana yang telah ia ucapkan. Namun setelah jelas bahwa Bapaknya adalah musuh Allah karena menolak kebenaran dan meneruskan kekafirannya setelah mendapatkan seruan, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sebagaimana termaktub dalam QS. At-Taubah ayat 114:
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk Bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada Bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa Bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Perhatikan penegasan Allah pada akhir ayat,
Seolah-olah Allah ingin mengatakan dengan sejelas-jelasnya kepada kita bahwasanya keberlepasan diri Ibrahim kepada Bapaknya bukan karena ia adalah anak yang kurang ajar dan durhaka kepada orang tuanya. Namun, ia adalah anak yang sebenarnya sangat santun dan teramat mencintai Bapaknya. Namun, karena kebathilan itu tidak akan pernah bersanding dengan al-haq maka seberapapun cintanya Ibrahim kepada orang tuanya maka ia lebih memilih untuk mencintai-Nya. Kelembutan hati dan kesantunan kita tidak bisa dijadikan hujjah untuk bersikap lemah terhadap kebenaran. Karena bagaimanapun juga, Kalimatullah adalah kalimat yang paling tinggi.
[Sumber: Mesjid Al-Amanah | Kementrian Keuangan RI]
0 Komentar