Mari kita simak informasi Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Thaahaa (20): 121-122: “Maka keduanya memakan dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupi dengan daun-daun surga, Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Tuhan memilihnya maka Dia menerima taubatnya Dan memberi petunjuk.”
Buah Khuldi dianggap sebagai biang keladi turunnya Adam dan Hawa dari surga. Seandainya Adam dan Hawa tak makan buah khuldi, niscaya mereka tidak akan diusir dari surga. Dan kita, semua keturunan adam, masih tetap tinggal di surga dengan segala kenikmatannya sampai kini.
Begitulah keyakinan sebagian besar kita (khususnya Kristen) tentang peristiwa di sekitar turunnya Adam dan Hawa dari surga. Setan menggunakan buah khuldi itu untuk menyesatkan Adam dan Hawa agar keduanya membangkang perintah Allah SWT.
Ada beberapa kontroversi yang muncul seputar turunnya Adam dan Hawa dari surga ini. Di antaranya adalah tentang buah khuldi yang ternyata tidak disebut secara eksplisit oleh Allah. Allah hanya menyebut pohon tersebut secara sepintas lalu tanpa menyebutkan nama. Nama ‘buah khuldi’ justru muncul dari istilah yang digunakan oleh setan ketika merayu Adam dan Hawa untuk memakannya. Itu pun tidak secara eksplisit menyebut buah, melainkan menyebut "syajaratul khuldi" alias ‘pohon keabadian’. Demikian ulasan Agus Mustofa dalam bukunya: Adam Tak Diusir dari Surga.
Pohon keabadian itulah yang memunculkan istilah buah khuldi. Padahal, kata ‘buah’ pun secara eksplisit tidak disebut dalam Al-Qur’an. Allah hanya mengatakan bahwa Adam dan Hawa memakan bagian dari pohon itu. Cuma karena kebiasaannya yang dimakan adalah buah, maka kebanyakan kita mempersepsikan sebagai buah khuldi. Di kalangan kawan-kawan yang beragama kristen malah digambarkan sebagai buah Apel.
Sebenarnya kalau kita cermati substansi ayat-ayat yang terkait dengan pohon khuldi, bentuk fisiknya tidaklah menjadi masalah penting. Yang lebih penting adalah LARANGAN Allah untuk mendekati pohon itu. Terbukti, Allah tidak menyebut nama pohon, kecuali hanya menyinggung sepintas lalu dengan sebutan ‘pohon ini’ (haadzihis syajarat). Dan bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali. Termasuk setan pun hanya menyebut dengan ‘pohon ini’.
Munculnya istilah pohon khuldi itu, sekali lagi, karena kita sendiri yang menamakannya berdasarkan ‘rayuan setan’ kepada Adam. Dan yang menarik adalah, larangan Allah kepada Adam untuk mendekati pohon itu adalah karena Allah tidak menginginkan Adam menjadi orang yang zalim sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: “…dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-A’raaf:19)
Jadi, kunci pemahaman atas pohon khuldi itu sebenarnya adalah kata ‘zalim’. Bahwa jika Adam dan Hawa mendekati atau apalagi memakannya, mereka bakal menjadi orang yang zalim. Dengan kata lain agar kita bisa memahami substansi pohon larangan itu, maka kita juga harus memahami makna kata zalim.
Kata zalim di dalam Al-Qur’an diulang-ulang oleh Allah dalam ratusan ayat. Tak kurang dari 200 ayat, dengan segala variasinya. Makna yang paling dominan adalah ‘melanggar perintah Allah’, kemudian diikuti dengan arti yang hampir sama seperti ‘menyekutukan Allah’, mengikuti yang selain Allah. Berbuat tanpa petunjuk Allah, '‘menentang peringatan Allah’, ‘mendustakan allah’, dan sebagainya.
Pada ayat yang lain, Allah memberikan gambaran bahwa orang-orang zalim itu adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya tanpa memiliki ilmu pengetahuan tentangnya. Mereka adalah termasuk orang-orang yang tersesat dan tidak memperoleh petunjuk dari Allah.
Jadi substansi pohon larangan itu sebenarnya adalah UJIAN KETAATAN Adam dan Hawa. Fisik benda yang dilarang tidaklah menjadi hal penting, sebagimana tersirat dari cara Allah bercerita, yang tanpa menyinggung langsung materinya. Yang lebih penting adalah bahwa Allah menguji Adam dan Hawa dengannya, apakah mereka termasuk orang-orang yang taat kepada-Nya atau tidak.
Ketika Adam dan Hawa diperintahkan untuk tinggal di sorga, Allah memberikan fasilitas kenikmatan sesuai dengan kebutuhan dasar hidup mereka. Yaitu makanan, minuman dan pasangan hidup, sambil menguji mereka apakah fasilitas kehidupan surga itu membuat mereka lupa diri atau tidak. Allah hanya memberikan satu larangan saja, yang disimbolkan sebagai ‘pohon’.
Pohon itu menyimpulkan dua hal sekaligus. Yaitu makanan dan aurat. Karena itu perintah-Nya dikaitkan dengan kedua hal sekaligus. Awalnya, Allah mengatakan Adam dan Hawa boleh memakan apa saja yang ada di dalam surga, kecuali pohon itu. Allah memberikan gambaran tidak langsung bahwa larangan itu berkaitan dengan makanan.
Dan pada cerita selanjutnya, disebutkan bahwa memakan sebagian pohon itu bisa menyebabkan auratnya terbuka. Ini menyiratkan bahwa pohon itu tidak hanya mewakili larangan terhadap makanan, melainkan juga simbol hawa nafsu yang tersimpan di dalam diri setiap manusia.
Allah menegaskan bahwa di surga itu Adam dan Hawa tak akan kekurangan apa pun sebab selama masih berada di dalamnya, mereka dijamin tidak akan kekurangan makanan, minuman, atau pun pakaian. Mereka tidak akan telanjang. Juga tidak kepanasan. Artinya dari segi fasilitas, semuanya tersedia.
Maka, ketika Adam dan Hawa terbuka auratnya karena memakan pohon khuldi, tentu saja itu bukan karena di dalam surge sudah tidak ada fasilitas pakaian. Bukan! Tetapi lebih dikarenakan terjadi ‘transformasi kesadaran’ di dalam diri mereka tentang makna aurat.
Sebelum memakan pohon khuldi itu pemahaman mereka tentang aurat tidak sama dengan sesudah memakannya. Karena itu kalimat yang bercerita tentang aurat mereka itu bukan berbunyi “terbukalah” aurat mereka malainkan “tampaklah” begi keduanya aurat-auratnya. Hal ini menujukkan bahwa itu bukan proses fisik belaka, melainkan lebih bersifat transformasi kesadaran akan makna aurat. Tadinya tidak tampak, sekarang menjadi tampak. Adam menjadi ‘melihat’ aurat Hawa. Demikian pula sebaliknya, Hawa menjadi bisa ‘melihat’ aurat Adam. Padahal, tadinya mereka tidak melihatnya sebagai aurat.
Jadi, hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa keterbukanya aurat Adam dan Hawa itu lebih kepada keterbukaan persepsi mereka atas sesuatu yang memalukan, sesuatu yang seharusnya disembunyikan kepada lawan jenisnya. Adam menjadi malu kepada Hawa, dan Hawa demikian pula sebaliknya. Sehingga mereka menutupinya dengan daun-daun surga.
[Oleh: Ir. Rony Ardiansyah, MT, IP-U. | Peminat Sains Qur’an, Dosen Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil UIR]
0 Komentar