Prof. E.P. Sanders dalam bukunya The Historical Figure of Jesus halaman 63-64 menulis:
We do not know who wrote the gospels Present evidence indicates that the gospels remained unfitted until the second half of the second century. I have summarized this evidence elsewhere. The gospels as we have them were quoted in the first half of the second century, but always anonimously. Names suddenly appear about the year 180.
Kita tidak tahu siapa yang menulis Injil-injil. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa Injil-injil tetap tidak memiliki nama sampai pada tahun 150-an. Saya telah memeriksa bukti-buktinya di mana-mana. Injil-injil sebagaimana yang kita miliki telah dikutip sebelum tahun 150-an, tetapi tanpa nama. Nama-nama penulis tiba-tiba muncul sekitar tahun 180.
Mereka ini adalah orang-orang Romawi pengikut Paulus yang menulis Injil bukan untuk bacaan umat Yahudi (umat Yesus) tetapi untuk kepentingan orang-orang Romawi penganut filsafat Yunani. Sebenarnya ada lebih 300 Injil yang berbeda-beda yang tersebar di masing-masing gereja tanpa diketahui siapa penulisnya. Di antara Injil-Injil itu ada yang di kemudian hari dikenal sebagai Injil Barnabas dan The Sepherd of Harmes yang mengundang banyak kontroversi, khususnya bila dihadapkan pada ajaran Trinitas.
Pemberian nama-nama Injil baru dilakukan tahun 180 demi kepentingan mempertahankan Injil-injil yang diinginkan untuk masuk dalam kanonisasi Alkitab. Jadi kalau pembaca melihat nama Matius dan Yohanes, jangan sekali-kali membayangkan bahwa Injil yang mencantumkan nama mereka adalah tulisan mereka. Ini hanyalah sekedar upaya Gereja mencatut nama mereka agar sidang kanonisasi mau menerimanya masuk dalam Alkitab. Ini dijelaskan pula oleh Professor Alvar Ellegard, dari University of Gutenborg, Sweden, dalam bukunya Jesus, One Hundred Years before Christ, halaman 188:
"Thus we can only conclude that ascribing the authorship of the Gospels to a certain of Jesus' disciples was a step taken towards the mid- second century AD by member of the Church who, like Papias and Justin, were eager to find - or indeed fabricated - support for the view that the Gospels they chose to accept as canonical were the memories of Jesus' contemporaries"
Dengan demikian, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa dengan mencatut nama- nama murid-murid Yesus sebagai penulis Injil-injil adalah suatu langkah yang diambil menjelang tahun 150-an oleh para pemimpin Gereja yang, seperti Papias dan Justin, sangat bersemangat untuk memperoleh - atau benar- benar memalsukan - dukungan agar orang berpendapat bahwa Injil-injil yang mereka pilih sebagai kitab suci tersebut adalah tulisan mereka yang sezaman dengan Yesus.
Dengan mencantumkan nama murid-murid Yesus berarti Injil tersebut harus diterima karena (seolah-olah) ditulis oleh murid Yesus atau saksi mata kehidupan Yesus. Demikian pula Gereja, tapi tetap saja menyembunyikan kepada jemaat mereka kenyataan bahwa Injil yang mereka pilih sesungguhnya bukan hasil kerja murid-murid Yesus.
Ini dijelaskan pula secara detail oleh Herman Hendrick dalam bukunya From One Jesus, to four Gospels. Sementara itu pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Uskup John S Spong dalam bukunya Why Christianity Must Change Or Die, halaman XV :"I contended that the authors of the synoptic Gospels, Matthew, Mark, and Luke, were not eyewitnesses, nor were these Gospels even based primarily on eyewitness memories of the life of Jesus."
Saya yakin bahwa para penulis Injil-injil Matius, Markus dan Lukas, bukanlah saksi mata, dan bahkan Injil-injil ini malah tidak didasarkan pada catatan-catatan para saksi mata kehidupan Yesus.
Lalu, siapa sebenarnya Matius, Markus, Lukas dan Yohanes yang namanya dinisbatkan pada masing-masing kitab Injil Kanonik?
Wallahualambissawab.
0 Komentar