Baru

ads header

Al-Qur'an, Tentang Sejarah Pengumpulannya


Misionaris Kristen di dalam artikel mereka telah membuat dakwaan bahwa Al-Qur’an tidak sempurna pengumpulannya. Setelah meneliti artikel tersebut secara sepintas lalu, didapati semua itu hanyalah manifestasi hazad dan dengki mereka terhadap Islam.

Dalam usaha menyangkal tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam itu, selain menggunakan hujah-hujah para ulama Islam, kita juga boleh menggunakan hujah beberapa orientalis Barat yang mengkaji perkara ini dan mengakui kebenarannya. Barangkali dengan ini, hujah musuh-musuh Islam lebih senang disangkal. Sebelum itu, perlu diingat juga bahwa tidak semua Orientalis mengkaji ilmu-ilmu Islam untuk menghina Islam. Ada juga di antara mereka yang mengkaji dengan tujuan untuk mencari kebenaran. Hal ini memang telah terbukti.

Salahsatunya, mari sama-sama kita simak pendapat yang ditulis oleh Sir William Muir dalam “The Life of Mohammad”, supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan Al-Qur’an itu dapat melihat sendiri bukti-bukti di depan matanya.

Sir William Muir adalah seorang penganut agama Kristen yang teguh dan juga berdakwah untuk agamanya. Walaupun ia seorang orientalis, dia tidak membiarkan setiap orang mengambil kesempatan melakukan kritik yang semena-mena terhadap Nabi (saw) dan Al-Qur’an. Dan ketika berbicara tentang Al-Qur’an, pemerhati ajaran Islam dan riwayat Rasulullah (saw) ini menulis seperti berikut:

Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari shalat sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunnah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunnah pertama yang sudah merupakan konsesi. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu penghafal Al-Qur’an di kalangan Muslimin yang pada awalnya banyak sekali, walaupun bukan semuanya.

Ada di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudahkan pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Al-Qur’an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.

Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan yang luar biasa untuk menghafal Al-Qur’an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang sangat meyakinkan segala yang diketahui dari Nabi saat mereka membacanya itu.

Alasan Penulisan Ulang Al-Qur'an
Semasa Sayyidina Uthman bin Affan menjadi Khalifah pengaruh Islam telah berkembang luas. Islam telah sampai ke Afrika Utara di barat dan hingga ke Azarbaijan di timur. Ini bermakna telah begitu banyak orang yang bukan Arab memeluk Islam. Keadaan ini memerlukan banyak guru yang bisa membaca Al-Qur’an dan memahami Islam dengan baik untuk mengajar orang yang baru memeluk Islam. Beberapa orang sahabat telah dihantar ke tempat-tempat tertentu untuk mengajar Al-Qur’an.

Masing-masing tempat membaca Al-Qur’an mengikut bacaan sahabat yang mengajar mereka. Dengan ini timbul sedikit perbedaan dari segi bacaan dan sebutan huruf Al-Qur’an di antara tempat-tempat tersebut. Di Sham contohnya, mereka membaca mengikut bacaan Abdullah bin Mas’ud. Di tempat lain pula membaca mengikut bacaan Abu Musa al-‘Asya’ariy.

Keadaan ini hampir-hampir menyebabkan berlaku permusuhan dan persengketaan di antara saudara-saudara baru Islam. Masing-masing mengatakan bacaannya yang benar dan menyalahkan orang lain. Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al-Yaman yang bersama-sama dengan orang Sham dan Iraq dalam peperangan di Armenia dan Azarbaijan melihat sendiri keadaan itu. Sekembalinya ke Madinah, beliau lalu pergi untuk bertemu Khalifah Uthman bin Affan dan menceritakan hal tersebut.

Beliau menyarankan supaya khalifah menulis kembali Al-Qur’an dalam beberapa naskah untuk dihantar ke bandar-bandar besar supaya semua orang Islam dapat membaca Al-Qur’an dengan satu cara yang sama. Khalifah menyetujui cara itu dan seterusnya membentuk panitia untuk menulis Al-Qur’an. Al-Qur’an yang ditulis kembali inilah yang dinamakan Mushaf Uthmaniy.

Dalam bahasa yang mudah, sebab Al-Qur’an ditulis kembali ialah untuk menyelamatkan umat Islam dan juga Al-Qur’an itu sendiri. Selain itu bertujuan agar semua orang Islam membaca Al-Qu'ran dengan satu cara bacaan saja, melainkan bagi orang-orang yang belajar membaca Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf, maka mereka boleh membacanya dengan berbagai-bagai Qira’at dengan syarat-syarat dan kaidah-kaidah tertentu.

Persatuan Islam Zaman Uthman
Maka yang sampai kepada kita adalah sekarang adalah Mushaf Uthman. Begitu cermat penjagaan Al-Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita dapati - bahkan memang tidak kita dapati - perbedaan apapun dari naskah-naskah yang tidak terhitung banyaknya, yang tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam yang luas ini. Sekalipun akibat terbunuhnya Uthman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian adanya - namun Al-Qur’an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Al-Qur’an bagi semuanya.

Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah dan usaha murni Sayyidina ‘Uthman bin Affan.

Di seluruh dunia ini tiada sebuah kitab pun selain Al-Qur’an yang berbelas-belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan rapi. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara penyebutan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tidak ada hubungannya dengan Mushaf Uthman. Sekarang, sudah jelas bahwa Al-Qur’an yang kita baca ialah teks Mushaf Uthman yang tidak berubah-ubah.

Perbincangan berikutnya, adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita amat meyakinkan, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Uthman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah Al-Qur’an demi kepentingannya.

Memang benar, bahawa Syi’ah kemudian menuduh bahwa Uthman mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tidak dapat diterima oleh akal kita sama sekali. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawiy dengan pihak Alawiy (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada sebarang pengancaman bahaya. Di samping itu juga, Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tidak ada maksud-maksud tertentu yang akan mendorong Uthman melakukan pelanggaran yang sangat dibenci oleh umat Islam itu. Orang-orang yang benar-benar memahami dan hafal Al-Qur’an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya, mereka masih hidup tatkala Uthman mengumpulkan mushaf itu.

Andai kata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menyokong usaha menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Uthman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai pengganti. Dapatkah diterima akal - pada waktu mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan menerima Al-Qur’an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu, mereka tetap membaca Al-Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tiada bayangan sedikit pun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulis dengan tangannya sendiri.

Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena ‘Uthman telah mengumpulkan Al-Qur’an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushaf Uthman. Jadi tentangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah ‘Uthman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak seorang yang menunjukkan adanya usaha mengubah atau menukar isi Al-Qur’an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha untuk merusak secara terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan yakin dan tegas, bahwa Mushaf Uthman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpancar-pancar di seluruh daerah itu.

Mushaf Uthman Cermat Dan Lengkap
Sungguhpun begitu, masih ada suatu persoalan penting yaitu apakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad?

Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu.

Pertama: Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakar al-Siddiq. Sedangkan Abu Bakar seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Dia juga adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Al-Qur’an; orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama 20 tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafah dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala buruk. Ia beriman bahawa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (saw) itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafahnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tidak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu’min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahawa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tiada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah.

Dalam Al-Qur’an terdapat peringatan-peringatan bagi siapa saja yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyu-Nya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang pada era awal dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.

Kedua: Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada sekumpulan ahli-ahli Al-Qur’an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam untuk melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalami ilmu agama.

Dari mereka semua itu terjalinlah suatu penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf itu, tapi juga mempunyai segala kerjasama yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.

Ketiga: Kita juga mempunyai jaminan yang lebih kuat dipercayai tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bahagian-bahagian Al-Qur’an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnya pun sudah banyak sebelum pengumpulan Al-Qur’an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya.

Maka amat logic kita mengambil kesimpulan bahwa semua yang terkandung dalam bagian itu, sudah mencakupi. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah sengaja membuang sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kalimat, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam mushaf yang sudah dikumpulkan itu. Dalam arti kata lain, dalam Mushaf Uthman tidak ada sesuatu yang diabaikan, sekalipun yang kurang penting.

Keempat: Isi dan susunan al-Qur’an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.

Tiada tangan yang mencoba mengubah atau memperlihatkan kebolehannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penulis dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani mengambil ayat-ayat suci itu melebihi daripada yang apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.

Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah bahwa Mushaf Zaid dan Uthman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apa pun dari wahyu itu. Kita juga dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Al-Qur’an itu, memang sangat teliti sekali seperti yang dibaca oleh Nabi Muhammad (saw).

Inilah pandangan Sir William Muir seperti yang disebut dalam kata pengantar “The Life of Mohammad” (m.s. xiv-xxix). Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebut tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sependapat. Secara positif, mereka memastikan tentang persisnya Al-Qur’an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Nabi Muhammad (saw) adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Allah SWT.

Kalau ada sebagian kecil kaum Orientalis atau Kristen berpendapat lain dan beranggapan bahwa Al-Qur’an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logic yang dikemukakan oleh Muir tadi dan sebahagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad SWT.

Betapa pandainya si pengkritik menyusun tuduhannya, namun mereka tidak akan dapat menafikan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan cara ini, mereka tidak akan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terhasut oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
wallahu'alam bishawab.



BACA JUGA:

Posting Komentar

0 Komentar