Dalam rangka memurtadkan Islam Madura, Pendeta Edhie Sapto dan Pendeta Yosua Adhie mengimbau kepada umat Kristiani agar penginjilan dilakukan dengan metode perbandingan Alkitab (Bibel) bahasa Arab dan Al-Qur‘an.
Alkitab bahasa Arab diperlukan dalam penginjilan karena orang Madura akan mengakui bahwa Alkitab bahasa Arab adalah kitab asli. Ini belum cukup, tapi harus ditunjang dengan lagu-lagu qasidah bahasa Arab dengan irama padang pasir yang syairnya dikutip dari ayat-ayat Alkitab.
Qasidah ini diperlukan karena orang Madura senang mendengarnya. “Mereka senang mendengarnya dan akhirnya berita Injil tersebar, banyak jiwa-jiwa bertobat dan nama Tuhan dipermuliakan,” tulisnya.
Qasidah ini diperlukan karena orang Madura senang mendengarnya. “Mereka senang mendengarnya dan akhirnya berita Injil tersebar, banyak jiwa-jiwa bertobat dan nama Tuhan dipermuliakan,” tulisnya.
Dalam rangka perbandingan Alkitab dan Al-Qur‘an itulah, majalah Midrash Talmiddim banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur‘an. Kutipannya terkadang tepat, tapi metode pemahamannya dirusak, bahkan tak jarang pengertiannya diselewengkan untuk melecehkan Allah dan Rasulullah. Setelah terkesan bahwa ayat Al-Qur‘an itu lemah, Edhie dan Yosua memberikan solusi berupa ayat-ayat Alkitab. Kesimpulannya, Alkitab jauh lebih hebat daripada Al-Qur‘an; Kristen jauh lebih unggul daripada Islam.
Nabi Muhammad Dituduh Pernah Kafir
Nabi Muhammad difitnah sebagai orang yang pernah bergabung dalam ibadah orang kafir. Buktinya Nabi Muhammad pernah ibadah dengan cara semedi di goa (edisi 3 hal. 25).
Penghujatan ini sama sekali tidak berdasar dan tidak didukung oleh data yang akurat. Karena sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad sepanjang hayatnya selalu berlaku jujur, tak pernah berbohong, tak pernah mengikuti adat-istiadat masyarakat jahiliyah baik minum-minuman keras, main perempuan maupun menyembah berhala. Semua itu dijauhi oleh Muhammad sampai akhir hayatnya.
Dalam kondisi masyarakat jahiliyah itu, Muhammad SAW bertahanuts (mempersiapkan diri) di tempat yang tenang yaitu gua Hira yang terletak di Jabal Nur (bukit cahaya). Di tempat ini, dengan pikiran yang jernih dan tenang, beliau merenungkan tentang pencipta alam raya. Langkah ini pun dituntun oleh wahyu Allah. Karena sebelum diangkat sebagai Nabi, beliau sudah diberi wahyu berupa ruh Al-Qur‘an. (QS. As-Syura:52 dan Ad-Dhuha: 7).
Muhammad adalah Nabi yang dipuji oleh Allah SWT sebagai pribadi yang benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam:4); diberi pahala yang besar yang tidak putus-putusnya” (QS. Al-Qalam:3); ditinggikan derajatnya” (QS. Alam Nasyrah: 4); Nabi pamungkas (QS. Ali Imran:144, At-Taubah:33, Al-Ahzab:40); dan Nabi yang diutus untuk seluruh umat manusia (QS. Al-Anbiya‘ 107).
Nabi Muhammad Dituduh Pemarah
Selanjutnya, kedua pendeta itu memfitnah Nabi Muhammad sebagai orang pemarah yang membuat ayat Al-Qur‘an untuk melampiaskan kemarahan kepada orang Yahudi lantaran mereka tidak mau mengakui kenabiannya.
Mereka menulis: “Setelah Muhammad meyakinkan dirinya menerima wahyu dan menjadi seorang Nabi, maka mulailah secara serius menceritakan pengalaman-pengalamannya kepada orang-orang Yahudi yang menguasai tempat-tempat ibadah. Tetapi cerita Muhammad tidak ditanggapi dengan baik, malahan menjadi cemo'ohan. Muhammad menjadi marah dan gusar kepada orang Yahudi dan mulai memusuhi mereka. Muhammad memusuhi orang Yahudi karena kenabiannya diragukan dan tidak diterima. Untuk mengantisipasi ejekan Yahudi ini, maka Muhammad menerapkan strategi dengan mengatakan Yahudi itu musuh yang harus dimusnahkan” (Qur’an surat 2:89)” (edisi 4 hal. 22).
Itulah teologi khayalan Pendeta Madura. Darimana dia bisa menyimpulkan bahwa surat Al-Baqarah 89 menyatakan Yahudi sebagai musuh yang harus dimusnahkan? Padahal pada ayat tersebut tidak ada kata “memusnahkan.” Perhatikan kutipan ayat selengkapnya:
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”
Soal permusuhan kepada Yahudi, juh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, mereka telah dilaknat oleh Allah SWT melalui lisan Nabi Daud dan Isa AS karena perilaku yang durhaka dan melampaui batas” (QS. Al-Ma‘idah:78). Bani Israel memang layak dilaknat karena mereka sangat durhaka, sampai-sampai mereka berani membunuh Nabi utusan Allah (QS. Al-Baqarah:61).
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Laknat Allah kepada Yahudi dan Nasrani” (Muttafaqun ‘alaihi).
Seharusnya Pendeta Edhie Sapto ingat, dan tidak jangan melupakan betapa durhakanya Yahudi, sehingga mereka pun ingin membunuh Nabi Isa AS yang oleh orang Kristen disebut Yesus Kristus dan dianggap sebagai tuhan (QS. An-Nisa:157). Dalam Injil pun Yesus mencela mereka dengan panggilan “Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak!” (Matius 23:33).
Allah Dikatakan Tidak Maha Pengampun
Dalam artikel 6 halaman berjudul “Mengapa Allah Menyesatkan Orang?” Edhie mengutip ayat-ayat Al-Qur’an secara parsial lalu disimpulkan bahwa Allah dalam Al-Qur’an itu tidak Maha Pengampun karena tidak memberikan ampunan-Nya.
Dalam sub judul “Allah Maha Pengampun, tidak memberi ampunan,” Edhie Sapto mengutip Al-Qur’an surat An-Nisa 106, Muhammad 19 dan Al-Mu`minun 109. Selanjutnya ia menulis: “Namun sayang Allah tidak memberi ampun. QS. At-Taubah:80: Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Edisi 4 hal. 17).
Pendeta Madura yang satu ini benar-benar licik. Ketika membaca ayat, perhatiannya hanya tertuju kepada kalimat “namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” Sehingga dengan seenaknya dia simpulkan bahwa Allah dalam konsep Al-Qur’an itu tidak Maha Pengampun. Padahal jika dipahami secara utuh, sambungan ayat tersebut jelas menyatakan bahwa orang yang tidak diampuni adalah orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada masalah sedikit pun dalam ayat tersebut. Allah tidak mengampuni orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan berarti Allah tidak Maha Pengampun, melainkan satu kewajaran yang sudah demikian semestinya. Justru tidak adil jika Allah mengampuni orang kafir yang tidak bertaubat. Dalam kitab-kitab suci, Tuhan memang Maha Pengampun, tapi tidak semua orang diampuni karena ada sebab-sebab yang menolak ampunan Tuhan. Salah satu hal yang menolak ampunan Allah adalah kekafiran dan kemusyrikan (QS. Muhammad: 34, An-Nisa: 48, 116).
Jika realita bahwa Tuhan tidak mengampuni orang kafir lalu disimpulkan bahwa Tuhan tidak Maha Pengampun, betapa cerobohnya penafsiran ini. Seharusnya Edhie Sapto malu menyelewengkan kitab suci orang dengan analisa miring bahwa Tuhan tidak Maha Pengampun. Sebab jika pisau analisa itu diterapkan kepada Alkitab (Bibel), kitab suci kristiani, maka hal serupa pun akan terjadi. Karena Bibel pun menyebutkan adanya orang yang tidak diampuni oleh Tuhan:
“Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni” (Matius 12:31, Lukas 12:10). Dalam ayat yang lain, dosa manusia yang tak diampuni itu disebut sebagai “dosa kekal” (Markus 3:29).
Tuhan juga tidak mengampuni orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang (Matius 6:15). Dalam Perjanjian Lama, Nabi Yeremia berdoa kepada Tuhan agar tidak mengampuni kesalahan orang yang akan membunuhnya (Yeremia 18:23).
Jika metode berpikir Pendeta Edhie Sapto dipakai untuk menafsirkan Bibel, maka kesimpulannya adalah Tuhan yang disembah orang Kristen dalam Bibel tidak Maha Pengampun karena tidak mengampuni orang.
Umat Islam meyakini sepenuhnya bahwa Allah itu Maha Pengampun.
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az-Zumar: 53).
Rasulullah SAW bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula” [HR. At-Tirmidzi].
Betapa luasnya rahmat dan ampunan Allah SWT sesuai dengan nama-Nya “Al-Ghaffaar” dan (Maha Pemberi Ampunan) dan “Al-Ghafuur” (Maha Pengampun). Inilah yang belum dipahami oleh Edhie Sapto.
Allah SWT Dilecehkan sebagai Penyesat
Sebelum memulai artikel enam halaman berjudul “Mengapa Allah Menyesatkan Orang?”, Edhie Sapto membuat ilustrasi sbb:
“Pernahkah anda pergi ke suatu rumah teman dan hanya mempunyai alamat yang kurang jelas, lalu anda bertanya kepada orang tentang alamat tersebut. Dan anda yakin akan orang itu. Ternyata informasi itu salah dan membuat tersesat karena orang itu telah menyesatkan anda… Bagaimana seandainya yang menyesatkan dan tidak mau mengampuni itu Allah? Benarkah Allah menyesatkan dan tidak mau mengampuni?” (Edisi 4 hal. 15).
Kedua pertanyaan tersebut dijawab sendiri dengan kutipan empat buah ayat Al-Qur‘an, antara lain:
“Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada baginya seorang pemimpin pun sesudah itu. Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: “Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?” (QS. Asy-Syura:44).
Dengan tata letak tulisan seperti ini, Pendeta Edhie Sapto ingin menyatakan bahwa Allah yang disembah setiap hari oleh umat Islam itu menyesatkan manusia.
Analisa ini jelas batil dan menyimpang jauh dari konteks karena ketika membaca ayat tersebut, mata Edhie Sapto hanya terpaku pada kalimat “Dan siapa yang disesatkan Allah.” Padahal bila dibaca utuh, ayat tersebut berbicara tentang keadaan orang yang zalim. Dan pada ayat berikutnya (ayat 45) disebutkan bahwa orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal (fii ‘adzaabin muqiim).
Kenyataan bahwa Allah menyesatkan dan menyiksa orang-orang yang zalim dengan azab yang kekal, bukanlah suatu hal yang musykil. Dan tidak boleh dipahami bahwa Allah itu tidak Maha Pengasih dan Penyayang, seperti ajaran Edhie Sapto.
Dalam Al-Qur‘an secara tegas Allah menyatakan bahwa Dia menyesatkan orang-orang yang zalim” (QS. Ibrahim:27) dan tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-An’am:144, Al-Qashash:50, Ali Imran:86, At-Taubah:19, Ash-Shaff:7) serta melaknat (mengutuk) orang-orang zalim (QS. Al-A’raf:44, Hud:18). Akibatnya, kelak di hari Akhirat orang zalim itu dimasukkan ke neraka (QS. An-Nisa: 30).
Predikat buruk itu disandang karena mereka memang berada dalam kesesatan yang nyata” (QS. Maryam:38, Luqman:11). Beberapa karakteristik kaum zalim antara lain: membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia (QS. Al-An’am:144), berbuat fasik (QS. Al-Baqarah 59, Al-A’raf:165), menghalang-halangi manusia dari menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya (QS. Al-Baqarah 114), membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya (QS. Al-An’am 21, Hud 18). Prototipe zalim ini digambarkan dalam sosok Firaun dan pengikut-pengikutnya. Mereka orang-orang yang zalim yang dibinasakan Allah karena mendustakan ayat-ayat Ilahi (QS. Al-Anfal 54).
Jadi, Allah memasukkan orang zalim ke dalam neraka, bukan karena Allah tidak Maha Pengasih, melainkan karena Allah Maha Adil dengan membalas manusia sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Orang zalim harus mendapat siksa di neraka karena tindakan mereka yang merugikan dirinya sendiri dengan selalu menzalimi (mengingkari) ayat-ayat Kami” (QS. Al-A’raf 9).
Selain itu, masih banyak golongan manusia yang disesatkan oleh Allah, antara lain:
Pertama, Orang fasik, sesuai dengan firman-Nya:
“…Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik” (QS. Al-Baqarah:26).
Orang-orang fasik itu memutuskan perkara tidak berdasarkan hukum Allah (QS. Al-Ma‘idah: 47), melanggar perjanjian Allah dan membuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-Baqarah:27).
Kedua, Orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu, sesuai dengan nas Al-Qur‘an:
“...Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu” (QS. Al-Mukmin: 34).
Ketiga, Allah menyesatkan orang-orang kafir, berdasarkan firman-Nya:
“…Seperti demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir” (QS. Al-Mu`min: 74).
Orang kafir mengikuti yang batil dan menghalangi manusia dari jalan Allah (QS. Muhammad 1-3), serta benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‘an) (QS. Muhammad:9). Umat Nasrani disebut kafir karena mempertuhankan Nabi Isa (Al-Ma‘idah: 17 dan 72).
Jelaslah bahwa Allah menyesatkan golongan orang-orang zalim, fasik, kafir dan orang yang melampaui batas karena mereka sendiri telah menolak dan menentang kebenaran ayat-ayat Allah.
“... Allah tidak menzalimi (menganiaya) mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi (menganiaya) diri mereka sendiri” (QS. Ali Imran:117).
Seharusnya kedua pendeta radikal itu tidak merasa musykil terhadap ayat-ayat Al-Qur‘an yang menyatakan kesesatan kaum yang zalim, fasik dan kafir. Karena dalam Alkitab (Bibel) sendiri terdapat banyak ayat-ayat yang musykil. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menyuruh Nabi-Nya untuk menikahi seorang pelacur:
“Ketika Tuhan pertama kali berbicara kepada bangsa Israel dengan perantaraanku, Tuhan berkata, “Hosea, kawinilah seorang yang suka melacur, dan anak-anakmu juga akan menjadi seperti dia. Umat-Ku sama seperti istrimu itu; mereka tidak setia kepada-Ku, dan meninggalkan Aku” (Hosea 1:2, Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari).
“Seorang imam tak boleh kawin dengan seorang wanita bekas pelacur atau seorang wanita yang bukan perawan atau yang sudah bercerai, karena imam adalah milik-Ku” (Imamat 21:7).
Kemusykilan ayat ini sudah diakui pula oleh teolog Kristen sendiri. Walter C Kaiser Jr, dekan dan wakil presiden pendidikan di Trinity Evangelical Divinity School meletakkan ayat musykil ini dalam satu bab khusus dalam bukunya “Hard Sayings of the Old Testament.”
Pendeta Jahil Murakkab
Kelancangan Edhie dan Yosua yang sangat naif adalah pendirian Pusat Pelatihan Bahasa Arab Gratis Metode Pesantren. Ilmu bahasa mereka sungguh miskin, tapi berani mendirikan pusat bahasa. Ini bukan mencerahkan tapi pembodohan. Hampir semua pelajaran bahasa Arab dalam majalah mengandung kesalahan, baik salah penulisan maupun kaidah bahasa. Misalnya, dalam salah satu percakapan bahasa Arab disebutkan: “Roujatii tufaddhilu al-majallah asy-sya’biyyah rohaani katsibron” yang diterjemahkan: “istri saya lebih suka majalah Rohani.” Bahasa Arab ini bukan metode Pesantren, melainkan metode bahlul pendeta yang awam bahasa. Seharusnya bahasa Arab yang benar adalah, “Zaujatii tufaddhilu al-majallah ad-diiniyyah katsiiron.”
Qasidah kristiani pun tak kalah ngawurnya. Kata “al-qudrotu” dan “al-hayatu” yang seharusnya ditulis dengan huruf ta’ marbuthoh (tertutup) justru ditulis dengan huruf ta’ maftuhah (terbuka). Kata “almasiihu” ditulis tanpa memakai huruf “ya”. Kata “ath-thoriiqu” yang seharusnya “ma’rifah” (definite) ditulis “nakirah” (indefinite). Kata “al-hayaatu” yang sudah jelas ma’rifat, dijadikan mudhof (disandarkan) pada dhomir (kata ganti) “hu” (dia).
Kedua pendeta radikal itu menganggap, umat islam akan tertipu dengan hal-hal yang berbau Arab. Padahal, umat Islam tak sebodoh itu. Umat Islam justru akan tertawa, mencibir lantunan sang penginjil ini.
Dengan ilmu yang dijajakan, kedua pendeta radikal itu tidak akan memajukan umat. Karena mereka adalah “pendeta buduh ngakoh alem.” [sabili/mai, mag]
[Sumber : Majalah Tabligh]
Nabi Muhammad Dituduh Pernah Kafir
Nabi Muhammad difitnah sebagai orang yang pernah bergabung dalam ibadah orang kafir. Buktinya Nabi Muhammad pernah ibadah dengan cara semedi di goa (edisi 3 hal. 25).
Penghujatan ini sama sekali tidak berdasar dan tidak didukung oleh data yang akurat. Karena sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad sepanjang hayatnya selalu berlaku jujur, tak pernah berbohong, tak pernah mengikuti adat-istiadat masyarakat jahiliyah baik minum-minuman keras, main perempuan maupun menyembah berhala. Semua itu dijauhi oleh Muhammad sampai akhir hayatnya.
Dalam kondisi masyarakat jahiliyah itu, Muhammad SAW bertahanuts (mempersiapkan diri) di tempat yang tenang yaitu gua Hira yang terletak di Jabal Nur (bukit cahaya). Di tempat ini, dengan pikiran yang jernih dan tenang, beliau merenungkan tentang pencipta alam raya. Langkah ini pun dituntun oleh wahyu Allah. Karena sebelum diangkat sebagai Nabi, beliau sudah diberi wahyu berupa ruh Al-Qur‘an. (QS. As-Syura:52 dan Ad-Dhuha: 7).
Muhammad adalah Nabi yang dipuji oleh Allah SWT sebagai pribadi yang benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam:4); diberi pahala yang besar yang tidak putus-putusnya” (QS. Al-Qalam:3); ditinggikan derajatnya” (QS. Alam Nasyrah: 4); Nabi pamungkas (QS. Ali Imran:144, At-Taubah:33, Al-Ahzab:40); dan Nabi yang diutus untuk seluruh umat manusia (QS. Al-Anbiya‘ 107).
Nabi Muhammad Dituduh Pemarah
Selanjutnya, kedua pendeta itu memfitnah Nabi Muhammad sebagai orang pemarah yang membuat ayat Al-Qur‘an untuk melampiaskan kemarahan kepada orang Yahudi lantaran mereka tidak mau mengakui kenabiannya.
Mereka menulis: “Setelah Muhammad meyakinkan dirinya menerima wahyu dan menjadi seorang Nabi, maka mulailah secara serius menceritakan pengalaman-pengalamannya kepada orang-orang Yahudi yang menguasai tempat-tempat ibadah. Tetapi cerita Muhammad tidak ditanggapi dengan baik, malahan menjadi cemo'ohan. Muhammad menjadi marah dan gusar kepada orang Yahudi dan mulai memusuhi mereka. Muhammad memusuhi orang Yahudi karena kenabiannya diragukan dan tidak diterima. Untuk mengantisipasi ejekan Yahudi ini, maka Muhammad menerapkan strategi dengan mengatakan Yahudi itu musuh yang harus dimusnahkan” (Qur’an surat 2:89)” (edisi 4 hal. 22).
Itulah teologi khayalan Pendeta Madura. Darimana dia bisa menyimpulkan bahwa surat Al-Baqarah 89 menyatakan Yahudi sebagai musuh yang harus dimusnahkan? Padahal pada ayat tersebut tidak ada kata “memusnahkan.” Perhatikan kutipan ayat selengkapnya:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.”
Soal permusuhan kepada Yahudi, juh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, mereka telah dilaknat oleh Allah SWT melalui lisan Nabi Daud dan Isa AS karena perilaku yang durhaka dan melampaui batas” (QS. Al-Ma‘idah:78). Bani Israel memang layak dilaknat karena mereka sangat durhaka, sampai-sampai mereka berani membunuh Nabi utusan Allah (QS. Al-Baqarah:61).
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
“Laknat Allah kepada Yahudi dan Nasrani” (Muttafaqun ‘alaihi).
Seharusnya Pendeta Edhie Sapto ingat, dan tidak jangan melupakan betapa durhakanya Yahudi, sehingga mereka pun ingin membunuh Nabi Isa AS yang oleh orang Kristen disebut Yesus Kristus dan dianggap sebagai tuhan (QS. An-Nisa:157). Dalam Injil pun Yesus mencela mereka dengan panggilan “Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak!” (Matius 23:33).
Allah Dikatakan Tidak Maha Pengampun
Dalam artikel 6 halaman berjudul “Mengapa Allah Menyesatkan Orang?” Edhie mengutip ayat-ayat Al-Qur’an secara parsial lalu disimpulkan bahwa Allah dalam Al-Qur’an itu tidak Maha Pengampun karena tidak memberikan ampunan-Nya.
Dalam sub judul “Allah Maha Pengampun, tidak memberi ampunan,” Edhie Sapto mengutip Al-Qur’an surat An-Nisa 106, Muhammad 19 dan Al-Mu`minun 109. Selanjutnya ia menulis: “Namun sayang Allah tidak memberi ampun. QS. At-Taubah:80: Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Edisi 4 hal. 17).
Pendeta Madura yang satu ini benar-benar licik. Ketika membaca ayat, perhatiannya hanya tertuju kepada kalimat “namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” Sehingga dengan seenaknya dia simpulkan bahwa Allah dalam konsep Al-Qur’an itu tidak Maha Pengampun. Padahal jika dipahami secara utuh, sambungan ayat tersebut jelas menyatakan bahwa orang yang tidak diampuni adalah orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada masalah sedikit pun dalam ayat tersebut. Allah tidak mengampuni orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan berarti Allah tidak Maha Pengampun, melainkan satu kewajaran yang sudah demikian semestinya. Justru tidak adil jika Allah mengampuni orang kafir yang tidak bertaubat. Dalam kitab-kitab suci, Tuhan memang Maha Pengampun, tapi tidak semua orang diampuni karena ada sebab-sebab yang menolak ampunan Tuhan. Salah satu hal yang menolak ampunan Allah adalah kekafiran dan kemusyrikan (QS. Muhammad: 34, An-Nisa: 48, 116).
Jika realita bahwa Tuhan tidak mengampuni orang kafir lalu disimpulkan bahwa Tuhan tidak Maha Pengampun, betapa cerobohnya penafsiran ini. Seharusnya Edhie Sapto malu menyelewengkan kitab suci orang dengan analisa miring bahwa Tuhan tidak Maha Pengampun. Sebab jika pisau analisa itu diterapkan kepada Alkitab (Bibel), kitab suci kristiani, maka hal serupa pun akan terjadi. Karena Bibel pun menyebutkan adanya orang yang tidak diampuni oleh Tuhan:
“Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni” (Matius 12:31, Lukas 12:10). Dalam ayat yang lain, dosa manusia yang tak diampuni itu disebut sebagai “dosa kekal” (Markus 3:29).
Tuhan juga tidak mengampuni orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang (Matius 6:15). Dalam Perjanjian Lama, Nabi Yeremia berdoa kepada Tuhan agar tidak mengampuni kesalahan orang yang akan membunuhnya (Yeremia 18:23).
Jika metode berpikir Pendeta Edhie Sapto dipakai untuk menafsirkan Bibel, maka kesimpulannya adalah Tuhan yang disembah orang Kristen dalam Bibel tidak Maha Pengampun karena tidak mengampuni orang.
Umat Islam meyakini sepenuhnya bahwa Allah itu Maha Pengampun.
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az-Zumar: 53).
Rasulullah SAW bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula” [HR. At-Tirmidzi].
Betapa luasnya rahmat dan ampunan Allah SWT sesuai dengan nama-Nya “Al-Ghaffaar” dan (Maha Pemberi Ampunan) dan “Al-Ghafuur” (Maha Pengampun). Inilah yang belum dipahami oleh Edhie Sapto.
Allah SWT Dilecehkan sebagai Penyesat
Sebelum memulai artikel enam halaman berjudul “Mengapa Allah Menyesatkan Orang?”, Edhie Sapto membuat ilustrasi sbb:
“Pernahkah anda pergi ke suatu rumah teman dan hanya mempunyai alamat yang kurang jelas, lalu anda bertanya kepada orang tentang alamat tersebut. Dan anda yakin akan orang itu. Ternyata informasi itu salah dan membuat tersesat karena orang itu telah menyesatkan anda… Bagaimana seandainya yang menyesatkan dan tidak mau mengampuni itu Allah? Benarkah Allah menyesatkan dan tidak mau mengampuni?” (Edisi 4 hal. 15).
Kedua pertanyaan tersebut dijawab sendiri dengan kutipan empat buah ayat Al-Qur‘an, antara lain:
وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ وَلِيٍّ مِنْ بَعْدِهِ وَتَرَى الظَّالِمِيْنَ لَمَّا رَأَوُاْ الْعَذَابَ يَقُوْلُوْنَ هَلْ إِلَى مَرَدٍ مِنْ سَبِيْلٍ
“Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada baginya seorang pemimpin pun sesudah itu. Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: “Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?” (QS. Asy-Syura:44).
Dengan tata letak tulisan seperti ini, Pendeta Edhie Sapto ingin menyatakan bahwa Allah yang disembah setiap hari oleh umat Islam itu menyesatkan manusia.
Analisa ini jelas batil dan menyimpang jauh dari konteks karena ketika membaca ayat tersebut, mata Edhie Sapto hanya terpaku pada kalimat “Dan siapa yang disesatkan Allah.” Padahal bila dibaca utuh, ayat tersebut berbicara tentang keadaan orang yang zalim. Dan pada ayat berikutnya (ayat 45) disebutkan bahwa orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal (fii ‘adzaabin muqiim).
Kenyataan bahwa Allah menyesatkan dan menyiksa orang-orang yang zalim dengan azab yang kekal, bukanlah suatu hal yang musykil. Dan tidak boleh dipahami bahwa Allah itu tidak Maha Pengasih dan Penyayang, seperti ajaran Edhie Sapto.
Dalam Al-Qur‘an secara tegas Allah menyatakan bahwa Dia menyesatkan orang-orang yang zalim” (QS. Ibrahim:27) dan tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-An’am:144, Al-Qashash:50, Ali Imran:86, At-Taubah:19, Ash-Shaff:7) serta melaknat (mengutuk) orang-orang zalim (QS. Al-A’raf:44, Hud:18). Akibatnya, kelak di hari Akhirat orang zalim itu dimasukkan ke neraka (QS. An-Nisa: 30).
Predikat buruk itu disandang karena mereka memang berada dalam kesesatan yang nyata” (QS. Maryam:38, Luqman:11). Beberapa karakteristik kaum zalim antara lain: membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia (QS. Al-An’am:144), berbuat fasik (QS. Al-Baqarah 59, Al-A’raf:165), menghalang-halangi manusia dari menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya (QS. Al-Baqarah 114), membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya (QS. Al-An’am 21, Hud 18). Prototipe zalim ini digambarkan dalam sosok Firaun dan pengikut-pengikutnya. Mereka orang-orang yang zalim yang dibinasakan Allah karena mendustakan ayat-ayat Ilahi (QS. Al-Anfal 54).
Jadi, Allah memasukkan orang zalim ke dalam neraka, bukan karena Allah tidak Maha Pengasih, melainkan karena Allah Maha Adil dengan membalas manusia sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Orang zalim harus mendapat siksa di neraka karena tindakan mereka yang merugikan dirinya sendiri dengan selalu menzalimi (mengingkari) ayat-ayat Kami” (QS. Al-A’raf 9).
Selain itu, masih banyak golongan manusia yang disesatkan oleh Allah, antara lain:
Pertama, Orang fasik, sesuai dengan firman-Nya:
وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِيْنَ
“…Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik” (QS. Al-Baqarah:26).
Orang-orang fasik itu memutuskan perkara tidak berdasarkan hukum Allah (QS. Al-Ma‘idah: 47), melanggar perjanjian Allah dan membuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-Baqarah:27).
Kedua, Orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu, sesuai dengan nas Al-Qur‘an:
كَذَلِكَ يُضِلُّ اللهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ
“...Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu” (QS. Al-Mukmin: 34).
Ketiga, Allah menyesatkan orang-orang kafir, berdasarkan firman-Nya:
كَذَلِكَ يُضِلُّ اللهُ اْلكَافِرِيْنَ
“…Seperti demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir” (QS. Al-Mu`min: 74).
Orang kafir mengikuti yang batil dan menghalangi manusia dari jalan Allah (QS. Muhammad 1-3), serta benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‘an) (QS. Muhammad:9). Umat Nasrani disebut kafir karena mempertuhankan Nabi Isa (Al-Ma‘idah: 17 dan 72).
Jelaslah bahwa Allah menyesatkan golongan orang-orang zalim, fasik, kafir dan orang yang melampaui batas karena mereka sendiri telah menolak dan menentang kebenaran ayat-ayat Allah.
وَمَا ظَلَمَهُمُ اللهُ وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
“... Allah tidak menzalimi (menganiaya) mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi (menganiaya) diri mereka sendiri” (QS. Ali Imran:117).
Seharusnya kedua pendeta radikal itu tidak merasa musykil terhadap ayat-ayat Al-Qur‘an yang menyatakan kesesatan kaum yang zalim, fasik dan kafir. Karena dalam Alkitab (Bibel) sendiri terdapat banyak ayat-ayat yang musykil. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menyuruh Nabi-Nya untuk menikahi seorang pelacur:
“Ketika Tuhan pertama kali berbicara kepada bangsa Israel dengan perantaraanku, Tuhan berkata, “Hosea, kawinilah seorang yang suka melacur, dan anak-anakmu juga akan menjadi seperti dia. Umat-Ku sama seperti istrimu itu; mereka tidak setia kepada-Ku, dan meninggalkan Aku” (Hosea 1:2, Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari).
“Seorang imam tak boleh kawin dengan seorang wanita bekas pelacur atau seorang wanita yang bukan perawan atau yang sudah bercerai, karena imam adalah milik-Ku” (Imamat 21:7).
Kemusykilan ayat ini sudah diakui pula oleh teolog Kristen sendiri. Walter C Kaiser Jr, dekan dan wakil presiden pendidikan di Trinity Evangelical Divinity School meletakkan ayat musykil ini dalam satu bab khusus dalam bukunya “Hard Sayings of the Old Testament.”
Pendeta Jahil Murakkab
Kelancangan Edhie dan Yosua yang sangat naif adalah pendirian Pusat Pelatihan Bahasa Arab Gratis Metode Pesantren. Ilmu bahasa mereka sungguh miskin, tapi berani mendirikan pusat bahasa. Ini bukan mencerahkan tapi pembodohan. Hampir semua pelajaran bahasa Arab dalam majalah mengandung kesalahan, baik salah penulisan maupun kaidah bahasa. Misalnya, dalam salah satu percakapan bahasa Arab disebutkan: “Roujatii tufaddhilu al-majallah asy-sya’biyyah rohaani katsibron” yang diterjemahkan: “istri saya lebih suka majalah Rohani.” Bahasa Arab ini bukan metode Pesantren, melainkan metode bahlul pendeta yang awam bahasa. Seharusnya bahasa Arab yang benar adalah, “Zaujatii tufaddhilu al-majallah ad-diiniyyah katsiiron.”
Qasidah kristiani pun tak kalah ngawurnya. Kata “al-qudrotu” dan “al-hayatu” yang seharusnya ditulis dengan huruf ta’ marbuthoh (tertutup) justru ditulis dengan huruf ta’ maftuhah (terbuka). Kata “almasiihu” ditulis tanpa memakai huruf “ya”. Kata “ath-thoriiqu” yang seharusnya “ma’rifah” (definite) ditulis “nakirah” (indefinite). Kata “al-hayaatu” yang sudah jelas ma’rifat, dijadikan mudhof (disandarkan) pada dhomir (kata ganti) “hu” (dia).
Kedua pendeta radikal itu menganggap, umat islam akan tertipu dengan hal-hal yang berbau Arab. Padahal, umat Islam tak sebodoh itu. Umat Islam justru akan tertawa, mencibir lantunan sang penginjil ini.
Dengan ilmu yang dijajakan, kedua pendeta radikal itu tidak akan memajukan umat. Karena mereka adalah “pendeta buduh ngakoh alem.” [sabili/mai, mag]
[Sumber : Majalah Tabligh]
0 Komentar