Mudah dimengerti bahwa setelah kematian Rasulullah (saw), maka sejalan dengan perkembangan jaman berkembang pula keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah yang berbeda-beda.
Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran semua fihak, sehingga pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, atas persetujuan semua pemuka Islam, ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah bentuk penulisan yang baku.
Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan sebutan rasam (cara penulisan) Utsmani tetap digunakan hingga saat ini.
Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan, diperintahkan untuk dikumpulkan dan diseleksi, kemudian dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan, khususnya dalam tata-cara penulisan, pembacaan, dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an.
Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan, diperintahkan untuk dikumpulkan dan diseleksi, kemudian dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan, khususnya dalam tata-cara penulisan, pembacaan, dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur'an.
Tapi justru dari sinilah kemudian timbul (kesengajaan) para orientalis untuk membangun opini publik bahwa seolah-olah ada banyak versi kitab Al-Quran, kecuali Al-Qur'an versi Ustman, yang seluruhnya "dimusnahkan" karena dianggap tidak sesuai dengan Mushaf (rasam) Ustmani.
Ini menarik, sebab jika kita membaca sejarah perkembangan agama Kristen, maka kita akan menyadari bahwa pemikiran seperti ini sangat identik dengan apa yang terjadi terhadap puluhan (bahkan diperkirakan ratusan) kitab Injil hasil karya berpuluh-puluh penulis dari generasi pertama pengikut Yesus yang dirampas dan dimusnahkan oleh Pauline Church (Gereja Paulus) sekitar tahun 325M karena isi ajaran murni Yesus tidak sejalan lagi dengan Injil yang sedang 'diubah-suaikan' oleh Paulus dan pengikutnya demi kepentingan penguasa Romawi di bawah kaisar Constatine kala itu.
Pemikiran seperti ini, tentu saja salah, mengingat pada masa kepemimpinan Ustman, sama sekali belum ada kitab Al-Qur'an standar, kecuali kompilasi tulisan-tulisan dari berbagai media (tulang, kulit, papirus dlsb) yang dimiliki oleh berbagai kalangan umat muslim.
Jika kita mau berfikir sedikit saja, maka kita akan mengerti bahwa mengingat begitu banyaknya penghafal Al-Quran dari masa ke masa dan dalam upaya mereka mengabadikan ayat-ayat wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad (saw) di atas berbagai media, tentu saja terjadi duplikasi dalam artian ayat-ayat yang sama - ingat, setiap ayat atau firman Allah untuk setiap penyebab turunnya wahyu (disebut asbabun nuzul) tidak mungkin berbeda antara satu sama lain - itu ditulis oleh penghafal yang berbeda-beda di atas media yang berbeda-beda pula.
Karenanya, jika ada yang mengatakan bahwa terdapat 26 versi Al-Qur'an termasuk milik Rasulullah (saw) sendiri yang ikut dimusnahkan, rasanya kita perlu menggunakan logika dengan baik. Sebab kemungkinan yang ada justru lebih banyak dari hanya 26 kitab. Contohnya, kita tahu bahwa jumlah surah atau Bab dalam Al-Qur'an terdiri atas 114. Jika seseorang mengumpulkan 30 surah dalam satu kitab (atau sejenisnya), semantara yang lain lagi hanya 20 surah, 11 surah, 1 surah 14 surah 47 surah dlsb, maka dapatkah kita bayangkan berapa kitab (atau yang menyerupainya) yang setelah diseleksi, kemudian ikut dimusnahkan?
Namun yang paling penting untuk difahami di sini adalah bahwa sebelum "dibukukan" oleh Khalifah Ustman, maka tidak ada kitab sebagaimana dimaksud dalam pengertian Mushaf Al-Qur'an. Dengan kata lain, segala bentuk klaim yang menyebutkan bahwa kitab-kitab Al-Qur'an telah dimusnahkan sebelum Mushaf Ustmani itu sendiri terbit, dengan sendirinya harus dianggap sebagai tuduhan yang ngawur alias salah kaprah!
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
“Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga pemuka Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam.
Ia memerintahkan mereka agar menyalin (semua hasil penulisan yang berbeda-beda itu ke dalam satu bentuk standar) kemudian memperbanyak mushaf yang sudah jadi. Dan ini penting untuk diketahui, bahwa jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, ayat-ayat itu harus ditulis dalam bahasa Quraish karena Al-Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, Ustman pun kemudian mengirimkan tujuh buah mushaf (untuk diperbanyak), yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah Mushaf disimpan di Madinah (mushaf al-Imam).
Dengan demikian, pemikiran - apalagi tuduhan - bahwa telah terjadi "pemusnahan" terhadap kitab-kitab Al-Qur'an selain yang kita temui hari ini, nyata-nyata adalah tuduhan yang sangat keliru!
Semoga bermanfaat!
[Sumber: Islam Menjawab Fitnah]
0 Komentar