EMPAT puluh hari setelah Paskah (kebangkitan), Yesus Kristus naik ke surga. Selama 40 hari itu, Yesus bolak-balik menampakkan diri kepada para pengikut-Nya dalam berbagai cara.
“Masih banyak hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus. Tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu,” kata Rasul Yohanes (Yoh 21:25).
Momentum kenaikan Yesus, yang sudah lama ditetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional, mengandung amanat penting–sangat penting–bagi Kristianitas. Memang, hari ini tak ada perayaan dan pesta meriah layaknya Natal atau Paskah, tapi dimensi rohaninya justru sangat signifikan. Sebab, Yesus sempat menyampaikan amanat agung kepada 11 pengikut (Markus 16:14-20).
Amanat agung yang sangat penting itu bisa kita baca di ayat 15: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk!”
Perintah ini secara populer biasa disebut ‘Kristenisasi’. Dalam sejarah, kita tahu, bagaimana sejumlah ‘negara Kristen’ menyisipkan misi Kristenisasi ini dalam petualangannya ke seluruh dunia. Trias-G atau Gold (kekayaan), Gospel (pekabaran Injil), dan Glory (kejayaan) diselundupkan dalam misi mereka. Begitu banyak dampak negatif, yang terjadi gara-gara pekabaran Injil diselundupkan dalam imperialisme. Begitu banyak tradisi budaya lokal hancur. Penduduk lokal banyak dipaksa untuk menganut agama baru, dipaksa untuk percaya kepada Juru Selamat yang tak mereka kenal. Agama (religi) asli setempat dianggap ‘kafir’, karena itu, harus diganti dengan peradaban baru.
Perlawanan pun terjadi, sehingga begitu banyak misionaris dibantai, termasuk di Indonesia. Darah misionaris menyemburkan iman, begitu kata satu pepatah. Dan, memang, ada dampak ‘positif’ di mana Injil bisa tersebar ke mana-mana, termasuk bumi Nusantara.
Tapi, di balik itu semua, misi Trias-G yang dipaksakan pada abad ke-14 meninggalkan stigma atau cap buruk di Indonesia sampai hari ini. Stigma buruk karena penjajah, yang jelas-jelas memelintir amanat agung Yesus Kristus beberapa menit sebelum naik ke surga, disalahtafsirkan. Maka, muncullah image buruk tentang Kristenisasi sampai hari ini.
Orang - di luar Kristen, tentu saja - mengartikan Kristenisasi sebagai gerakan sistematis, masif, terencana, berdana tak terbatas, untuk mengkristenkan warga yang belum menganut agama Kristen. Seakan-akan Kristenisasi adalah sebuah gerakan untuk memurtadkan (proselitasi) orang dari agama yang dipeluknya. Dus, Kristenisasi merupakan bahaya yang harus diperangi.
Ada bakti sosial kalangan Gereja sering dicurigai sebagai Kristenisasi terselubung. Hanya kedok agar orang lain masuk Kristen. Bagi-bagi beras sembako mi instan dilecehkan sebagai ‘dakwah supermi’. Sekolah Katolik dan Protestan, dalam orasi saat demo UU Sisdiknas kemarin, dituduh menjadi ajang Kristenisasi anak-anak beragama lain. Bahkan, hubungan cinta cowok atau cewek yang berbeda agama pun sering dibaca sebagai akal-akalan agar sang pasangan bisa masuk Kristen.
Masih terlalu banyak contoh betapa ‘Kristenisasi’ dianggap sebagai momok. Akibatnya, bangunan gereja baru sulit berdiri karena warga khawatir terjadi pemurtadan massal. “Lebih mudah orang mendirikan panti pijat atau tempat hiburan ketimbang gereja,” keluh Ruyandi Hutasoit, ketua umum Partai Damai Sejahtera (PDS) di depan Presiden Megawati Soekarnoputri, Selasa (18/5), di Jakarta. Faktanya memang demikian. Dan, itu akibat resistensi penduduk karena stigma ‘Kristenisasi’ warisan kolonial yang melekat sampai sekarang.
Lalu, bagaimana hakikat Kristenisasi sebenarnya?
“Serigala akan tinggal bersama domba. Macan tutul berbaring di samping kambing. Anak sapi akan merumput bersama anak singa, dan anak kecil menggiring mereka. Sapi akan makan rumput bersama beruang, anak-anaknya berbaring bersama-sama. Singa makan jerami seperti sapi” (Yes 11:6-7).
Dapatkah pekabaran Injil alias Kristenisasi alias Evangelisasi tanpa triumfalisme, tanpa proselitasi, dilakukan di Indonesia? Kenapa tidak. Yusul Bilyarta Mangunwijaya Pr (Romo Mangun) telah membuktikannya di Kali Code, Jogja. Selama mengabdi untuk wong cilik dan anak-anaknya di Code, almarhum tak pernah membaptis seorang pun untuk menjadi Katolik. Warga yang Islam tetap menjadi Islam yang baik, Pentakosta demikian, Hindu (kalau ada) pun begitu. “Kita boleh berbeda agama, tapi iman kita sama,” kata Romo Mangun dalam berbagai kesempatan.
Dan, menurut Rasul Yakobus (Yak 2:14-26), iman harus dibuktikan dalam perbuatan atau tindakan. “Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Inilah beban atau pekerjaan rumah besar yang harus bisa dibuktikan oleh umat Kristiani. Tanpa itu, saya yakin, stigma bahwa Kristenisasi sebagai gerakan sistematis untuk memurtadkan orang yang bukan Kristen tak akan hilang dari bumi Indonesia. (*)
[Tulisan Mas Lambertus Hurek - Penulis tetap surat kabar RADAR Surabaya]
Tapi, di balik itu semua, misi Trias-G yang dipaksakan pada abad ke-14 meninggalkan stigma atau cap buruk di Indonesia sampai hari ini. Stigma buruk karena penjajah, yang jelas-jelas memelintir amanat agung Yesus Kristus beberapa menit sebelum naik ke surga, disalahtafsirkan. Maka, muncullah image buruk tentang Kristenisasi sampai hari ini.
Orang - di luar Kristen, tentu saja - mengartikan Kristenisasi sebagai gerakan sistematis, masif, terencana, berdana tak terbatas, untuk mengkristenkan warga yang belum menganut agama Kristen. Seakan-akan Kristenisasi adalah sebuah gerakan untuk memurtadkan (proselitasi) orang dari agama yang dipeluknya. Dus, Kristenisasi merupakan bahaya yang harus diperangi.
Begitu banyak salah paham tentang Kristenisasi di masyarakat. Dan, ini menimbulkan hubungan yang ‘tak harmonis’ antara Islam dan Kristen di Indonesia. Kalau mau jujur, semua ketegangan bernuansa SARA (baca: agama) di Indonesia selama ini dipicu oleh stigma Kristenisasi dan kontra-Kristenisasi di pihak lain.
Ada bakti sosial kalangan Gereja sering dicurigai sebagai Kristenisasi terselubung. Hanya kedok agar orang lain masuk Kristen. Bagi-bagi beras sembako mi instan dilecehkan sebagai ‘dakwah supermi’. Sekolah Katolik dan Protestan, dalam orasi saat demo UU Sisdiknas kemarin, dituduh menjadi ajang Kristenisasi anak-anak beragama lain. Bahkan, hubungan cinta cowok atau cewek yang berbeda agama pun sering dibaca sebagai akal-akalan agar sang pasangan bisa masuk Kristen.
Masih terlalu banyak contoh betapa ‘Kristenisasi’ dianggap sebagai momok. Akibatnya, bangunan gereja baru sulit berdiri karena warga khawatir terjadi pemurtadan massal. “Lebih mudah orang mendirikan panti pijat atau tempat hiburan ketimbang gereja,” keluh Ruyandi Hutasoit, ketua umum Partai Damai Sejahtera (PDS) di depan Presiden Megawati Soekarnoputri, Selasa (18/5), di Jakarta. Faktanya memang demikian. Dan, itu akibat resistensi penduduk karena stigma ‘Kristenisasi’ warisan kolonial yang melekat sampai sekarang.
Lalu, bagaimana hakikat Kristenisasi sebenarnya?
Sudah banyak pembahasan tentang itu. Jauh sebelum ensiklik tentang Evangelisasi Baru dari Paus Yohanes Paulus II tahun 2000–sebagai penjabaran amanat agung Yesus, ada Konsili Vatikan II (1962-1965) yang mengoreksi habis pandangan lama Gereja. Semboyan ‘extra ecclesia nulla salus’, tak ada keselamatan di luar Gereja (Katolik), tak boleh lagi dipakai.Dalam dokumen Konsili seperti Gaudeum et Spes, Lumen Gentium, dan khususnya Nostra Aetate, sikap positif Gereja terhadap agama lain, termasuk agama Islam, sangat jelas. Perhatian khusus terhadap agama Islam [dan ini penting untuk koteks Indonesia] dimuat di Nostra Aetate artikel 3.
“Gereja menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada manusia. Kaum Muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah yang juga bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham (Ibrahim), umat Islam dengan sukarela mengacu kepadanya….”Implikasinya jelas. Bahwa Kristenisasi tak bisa ditafsirkan sebagai ‘mengkristenkan’ orang Islam, orang Budha, orang Hindu, dan seterusnya. Kristenisasi alias Evangelisasi Baru berarti mewujudkan semangat Yesus, Kerajaan Allah, di mana keadilan, kedamaian, cinta kasih, kesejahteraan, terwujud di muka bumi.
“Serigala akan tinggal bersama domba. Macan tutul berbaring di samping kambing. Anak sapi akan merumput bersama anak singa, dan anak kecil menggiring mereka. Sapi akan makan rumput bersama beruang, anak-anaknya berbaring bersama-sama. Singa makan jerami seperti sapi” (Yes 11:6-7).
Dapatkah pekabaran Injil alias Kristenisasi alias Evangelisasi tanpa triumfalisme, tanpa proselitasi, dilakukan di Indonesia? Kenapa tidak. Yusul Bilyarta Mangunwijaya Pr (Romo Mangun) telah membuktikannya di Kali Code, Jogja. Selama mengabdi untuk wong cilik dan anak-anaknya di Code, almarhum tak pernah membaptis seorang pun untuk menjadi Katolik. Warga yang Islam tetap menjadi Islam yang baik, Pentakosta demikian, Hindu (kalau ada) pun begitu. “Kita boleh berbeda agama, tapi iman kita sama,” kata Romo Mangun dalam berbagai kesempatan.
Dan, menurut Rasul Yakobus (Yak 2:14-26), iman harus dibuktikan dalam perbuatan atau tindakan. “Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Inilah beban atau pekerjaan rumah besar yang harus bisa dibuktikan oleh umat Kristiani. Tanpa itu, saya yakin, stigma bahwa Kristenisasi sebagai gerakan sistematis untuk memurtadkan orang yang bukan Kristen tak akan hilang dari bumi Indonesia. (*)
[Tulisan Mas Lambertus Hurek - Penulis tetap surat kabar RADAR Surabaya]
0 Komentar