Judul Asli:
Hubungan Al-Qur'an Dan Al-Hadits
Dalam Pembentukan Hukum-Hukum Islam
Dalam Pembentukan Hukum-Hukum Islam
AL-QUR'AN dan AL-HADITS diyakini menjadi sumber primer ajaran agama lantaran dari keduanya diktum-diktum hukum Islam dikreasi dan dibentuk sesuai mekanisme istinbath sebagaimana dijabarkan dalam ilmu ushul fiqh. Al-Qur’an tak lain adalah serangkaian firman Allah SWT yang ditransmisi kepada ummat manusia melalui seorang utusannya, Muhammad SAW.
Selain dapat dibaca dan berimplikasi reward (pahala) bagi yang membacanya, al-Qur’an juga menjadi guide-line atau panduan kesehariaan bagi kehidupan ummat manusia. Sebagai sumber primer ajaran agama, al-Qur’an dapat menyelesaikan aneka persoalan ummat manusia baik menyangkut kemasyarakatan, perekonomian, politik dan aspek kehidupan yang lain. Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum penyelesaian segala persoalan sehingga ia mampu bertahan dalam segala bentuk rupa perubahan serta tidak lekang dengan waktu.
Sebagai wahyu verbal yang memuat banyak aturan secara global, al-Qur’an memerlukan penjelasan al-Hadits sebagai bentuk wahyu yang lain. Jika al-Qur’an merupakan firman Tuhan maka al-Hadits adalah sabda nabi yang banyak memberikan penjabaran terhadap kemujmalan al-Qur’an. Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits tidak dapat dipasung oleh pemahaman bahwa yang tersebut kedua bersifat inferior dibanding yang pertama.
Sebaliknya, baik al-Qur’an maupun al-Hadits mempunyai perannya sendiri dalam membentuk diktum-diktum hukum sebagai aturan operasional. Bahkan, dalam batas tertentu, kebutuhan al-Qur’an terhadap al-Hadits terkesan lebih dominan ketimbang ketergantungan al-Hadits kepeda al-Qur’an.
Dari sudut kedatangannya sebagai wahyu, al-Qur’an memang dalam posisi superior di atas al-Hadits. Sebab, jika yang mencapai derajat qath’i (qath’iy al-wurud) dari al-Hadits terbatas pada hadits-hadits mutawatir maka dalam al-Qur’an seluruh ayatnya dapat dikatakan mencapai tingkatan qath’i. Akan tetapi dari sudut indikasi hukumnya, al-Qur’an dan al-Hadits mempunyai derajat sebangun lantaran sama-sama diukur dari aspak dalalah atau penunjukan hukumnya.
Dalam kaitan ini, al-Hadits sebagai penjabar dan penjelas terhadap al-Qur’an sering mempunyai tingkat kepastian hukum yang lebih besar. Sebab dalam memberikan penjabaran seringkali teks al-Hadits membatasi keumuman dan kemutlakan al-Qur’an (takhshis al-‘am wa taqyid al-muthlaq). Dalam kondisi seperti ini, lafadz yang kushus (khash) dan lafadz yang terikat dengan batasan tertentu (muqayyad) relatif lebih mempunyai tingkat kepastian hukum lebih tinggi ketimbang lafadz ‘am dan lafadz muthlaq yang masih perlu dibatasi cakupan dan ruang lingkupnya.
Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits pada kenyataannya tidak dapat membendung adanya hierarki di antara keduanya. Sudah menjadi ungkapan umum di kalangan para Juris Islam bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama sedangkan al-Hadits adalah sumber rujukan kedua.
Urutan seperti ini paling tidak dibuat untuk keperluan rujukan sumber-sumber hukum dalam aktivitas istinbath. Sebelum merujuk pada sumber hukum kedua, tentunya para Mujtahid merefer terlebih dahulu pada sumber hukum pertama. Begitu pula setelah merujuk pada kedua sumber primer ini, mereka perlu mempertimbangkan mekanisme istidlal dengan memperhatikan sumber-sumber hukum lain seperti qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan lain-lain.
Terminologi al-Qur’an dan al-Hadits
Tidak seperti kitab suci lainnya -- Taurat dan Injil misalnya -- yang turun sekaligus kepada Nabi Musa dan Isa as, al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril as secara bertahap sesuai konteks realitas masyarakat Arab waktu itu. Bahkan tidak jarang al-Qur’an turun dalam bentuk jawaban atas pertanyaan masyarakat Arab menyangkut persoalan tertentu. Karenanya, sering kita temukan dalam lembaran al-Qur’an ungkapan:
يسألونك عن…….. (mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang ….…) atau,
يستفتونك في….. (mereka minta fatwa padamu Muhammad tentang …..),
lalu teks al-Qur’an melanjutkan dengan jabaran dan penjelasan menyangkut prsoalan yang sedang ditanyakan masyarakat tersebut.
Dalam terminologi ilmu al-Qur’an (ulum al-Qur’an) kumpulan teks al-Qur’an identik dengan beberapa sebutan, yaitu:
- Al-Qur’an (QS Al-Qiyamah: 17 dan QS Al-Isra’: 9);
- Al-Kitab (QS Al-Anbiya’: 10);
- Al-Furqan (QS Al-Furqan: 1);
- Al-Nur (QS An-Nisa’: 174);
- Al-Dzikr (QS Al-Hijr: 9); dan
- Al-Tanzil (QS Al-Syu’ara’: 192).
Selain itu, kumpulan teks al-Qur’an juga sering disebut mushhaf (sebendel kertas yang berisikan tulisan). Bisa disebut al-Mushhaf karena ia ditulis dalam naskah tertentu dengan nama dan sebutan tertentu juga. Konon, penyebutan mushhaf ini mula-mula dilakukan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq setelah berunding dengan para sahabat yang lain. Abu Bakar memberi nama mushhaf setelah rampung melakukan pengumpulan lembaran-lembaran al-Qur’an yang sebelumnya tercerai berai di berbagai sudut tempat menjadi satu manuskrip tertentu.
[Oleh: Dr. H. Abu Yasid, M.A., LL.M]
Baca juga:
0 Komentar